BAGIAN 18.

“Lo tuh nggak bisa ya, sehari aja nggak cari masalah sama Aci?”

Jirat mengangkat bahu acuh tak acuh ketika Thara menghampirinya di balkon dan melontarkan pertanyaan dengan suara yang pelan, takut terdengar hingga dalam ruangan. Lelaki yang hari-harinya dihabiskan untuk menekan tuts keyboard itu menghela napas panjang ketika melihat sepiring nasi goreng tanpa sayur milik Jirat masih tersisa setengah.

Suasana di dalam ruangan saat ini ribut, dipenuhi dengan ocehan Thana dan Pusit yang bersahut-sahutan. Satu-satunya cara untuk memecah keheningan yang tercipta semenjak Jirat memutuskan untuk mengirim pesan di ruang obrolan mereka ketika Jimmy, sang manajer, bertanya tentang pesanan nasi goreng.

Setengah jam yang lalu, Jimmy datang membawa nasi goreng, Ia langsung mendorong tubuh Jirat ke arah balkon, diikuti oleh Thara dan Pusit setelahnya. Setelah manajernya itu pergi, mereka menghabiskan makanan tanpa suara. Aci diam seribu bahasa dan ekspresi kesalnya tidak dapat disembunyikan.

Terima kasih untuk Thara dan Pusit yang punya seribu satu cara untuk membuat keadaan menjadi lebih baik, maka mereka memutuskan untuk kembali ke dalam setelah nasi goreng di piring mereka habis. Namun, Thara memutuskan untuk menyusul Jirat lagi karena Ia tidak ingin jika Jirat merasa dipojokkan.

Walaupun, memang semua ini terjadi sebab kesalahannya sendiri.

“Kak, gue serius nanya, deh. Lo tuh sebenernya masih suka sama Kak Aci apa gimana?” Thara menoleh ke arah Jirat yang kini tengah sibuk menatap gedung-gedung tinggi yang berada dalam jangkauan pandangannya. “Hobi banget bikin Kak Aci emosi. Give him a break, lah. Lo nggak takut dilempar gitar sama dia?”

Jirat tertawa pelan ketika mendengar perkataan Thara. Mencoba untuk memutar ingatannya tentang alasan mengapa Ia terus-menerus dengan sengaja membuat Aci kesal. Hasilnya, tidak ada. Tidak ada alasan baru tentang mengapa Jirat selalu sengaja membuat Aci kesal.

“Gue juga nggak tau, Thar,” balas Jirat sebelum meneguk air mineralnya yang tersisa setengah gelas sampai habis. “Kebiasaan lama susah hilang kayaknya. Gue cuman pengen temenan lagi sama Aci kayak dulu, tapi dia seolah-olah menganggap gue sebagai musuh.”

Thara menyandarkan punggungnya di teralis balkon seraya melihat ke arah dalam, diam-diam tersenyum ketika melihat Thana berhasil membuat Aci tertawa. Tolong ingatkan Thara untuk memberikan pacarnya itu kecupan manis di pipi nanti.

“Lo sendiri yang minta Kak Aci pergi dari hidup lo, tapi kenapa seolah-olah sekarang lo berusaha buat tarik dia lagi buat balik?” Tanya Thara dengan nada pelan, tanpa bermaksud untuk memojokkan lawan bicaranya.

Lagi-lagi, Jirat tertawa pelan. Sedikit hanyut dengan pikirannya, memikirkan jawaban untuk segala macam pertanyaan yang dilontarkan Thara. “Gue cuman pengen punya hubungan yang baik sama Aci kayak dulu, gitu aja. We both agreed that there would be no hard feelings between us after the break-up.”

Thara menepuk dahinya dengan dramatis ketika mendengarkan jawaban Jirat. Lelaki itu selalu jujur dan apa adanya, tidak pernah berusaha untuk menyembunyikan atau melebih-lebihkan sesuatu, sangat kontras dengan Aci yang memilih untuk tidak mengatakan apapun tentang isi hatinya.

“Kak, nggak semua orang punya pemikiran yang sama kayak lo,” ucap Thara sebelum membalikkan tubuhnya untuk turut menyaksikan cahaya-cahaya yang datang dari bangunan-bangunan di dalam jangkauan pandang mereka. “Kak Aci, lukanya belum sembuh. Semakin lo cari masalah sama dia, walaupun maksudnya cuman bercanda, semakin susah dia buat sembuh dari lukanya itu.”

“Luka gue juga belum sepenuhnya sembuh, Thara.”

“Terus, lo sengaja gangguin Kak Aci supaya dia juga gak bisa sembuh dari lukanya? Itu alasan lo buat terus-terusan muncul di kehidupan dia karena lo takut dia ikhlas duluan?”

Kemudian hening menyelimuti mereka dan percakapan antara Jirat dan Thara malam itu berhenti tanpa adanya jawaban yang pasti.


©greatesturn, 2023.