redtulips

Apakah kalian percaya dengan takdir?

Sebagian orang mempercayainya sebagai sesuatu yang senantiasa menyertai tiap insan sejak mereka terlahir ke dunia. Segala hal yang terjadi, baik atau buruk, semuanya telah tertulis dalam sebuah buku imajiner milik mereka. Entah siapa yang menulisnya, mungkin Sang Pencipta dengan persetujuan diri mereka sendiri di kehidupan sebelumnya.

Dari sekian banyak insan yang mempercayai dengan adanya takdir, tidak dapat dipungkiri bahwa banyak pula yang tidak mempercayainya. Mereka berpendapat jika jalan hidup tiap insan tergantung atas apa yang mereka inginkan dan rencanakan sendiri, secara sadar dan nyata.

Setidaknya begitulah yang selama ini berada di dalam pikiran seorang Force Jiratchapong. Hidupnya berjalan sesuai apa yang Ia inginkan. Selalu berhasil masuk ke sekolah dan universitas impiannya, dikelilingi oleh keluarga dan teman yang suportif, serta mampu membeli mobil pribadi dengan uang tabungan sendiri—sedikit dibantu oleh ayah.

Namun, ketidakpercayaannya terhadap takdir sirna begitu saja ketika hidupnya tiba-tiba berubah menjadi sebuah kisah romansa picisan yang biasa ibunya tonton di malam hari. Force ingat beberapa minggu yang lalu ibunya menonton sebuah kisah tentang dua rival yang dijodohkan dan mereka harus menjalani kehidupan layaknya pasangan pada umumnya, walaupun pada kenyataannya mereka saling membenci.

Force sempat tertawa diam-diam karena menurutnya hal itu sedikit tidak rasional. Takdir, takdir, takdir. Sepanjang film itu isinya tentang dua orang yang berbicara tentang takdir. Tidak disangka jika hari ini Ia harus menertawakan dirinya sendiri di hadapan cermin karena beberapa menit yang lalu, sang ayah berkata jika dirinya akan dijodohkan dengan anak tunggal salah satu koleganya.

Sialnya, anak tunggal salah satu kolega ayah itu merangkap sebagai rival abadinya sejak empat tahun yang lalu.

Terhitung sudah hampir satu tahun sejak kepindahan Theo ke kota ini, seolah memulai kehidupan baru dengan tempat dan orang-orang yang baru pula. Setidaknya begitulah kata sang ibu. Namun, tidak ada perubahan signifikan terhadap kepribadian Theo itu sendiri. Bahkan ketika ibunya sudah memiliki relasi yang cukup luas di kota ini hanya dalam kurun waktu satu tahun, Theo tetap menghabiskan waktunya untuk menyendiri di dalam perpustakaan ketika Ia berada di kampus.

Dengan wajah dan perawakannya yang mempesona bak seorang pangeran dari negeri selatan itu jelas membuat cukup banyak orang yang memusatkan atensi mereka pada Theo. Akan tetapi, Theo begitu tampak menutup dirinya sehingga tidak begitu banyak orang yang menghampiri kemudian julukan 'Pangeran Penghuni Perpustakaan' itu muncul begitu saja entah darimana asalnya. Theo tidak begitu memedulikan hal seperti itu.

Sebenarnya, Theo tidak menutup diri. Ia terlalu malu untuk sekadar memulai sebuah percakapan atau menyapa orang yang Ia kenal dan temui ketika berpapasan. Ia tetap memiliki teman, tetapi tidak bisa dikategorikan sebagai teman dekat karena mereka hanya berbagi dan mengeluh tentang perkuliahan saja. Selebihnya tidak ada, entah itu tentang hal sepele yang terjadi dalam keseharian atau bahkan hal seperti kisah romansa di kampus.

Omong-omong soal kisah romansa, dusta adanya apabila Theo berkilah jika Ia tidak pernah menemukan seseorang yang mencuri perhatiannya selama satu tahun Ia menempuh pendidikan di tempat ini. Mungkin, orang-orang berpikir jika Theo hanya peduli dengan tumpukan buku yang dipinjamnya, tetapi sosok yang berhasil mencuri perhatiannya itulah yang menjadi alasan mengapa Ia begitu betah menghabiskan waktu di perpustakaan.

Namanya Akk Itsara. Semua orang mengenal lelaki itu. Wajahnya tampan, tubuhnya jauh lebih bagus daripada tubuh Theo. Begitu ramah dan kehadirannya selalu mengundang tawa, tidak heran jika banyak orang berlomba-lomba ingin dekat dengannya. Apabila Theo memiliki kepribadian serupa, pasti Ia bisa terkenal seperti Akk Itsara.

Lelaki yang sepasang mata dan senyumannya itu selalu mengingatkan Theo kepada hewan bernama rubah suka sekali menghabiskan waktunya di perpustakaan. Namun, bukan untuk mengerjakan tugas atau membaca buku seperti apa yang Theo lakukan, lelaki itu justru melepas penatnya alias terlelap di sudut perpustakaan dengan satu majalah untuk menutupi wajahnya.

Theo selalu memperhatikannya dalam diam. Ia suka ketika cengiran tanpa rasa bersalah mampir di wajah Akk ketika pustakawan datang menghampirinya karena lelaki itu terlalu keras mendengkur. Ia suka ketika ekspresi Akk berubah serius ketika lelaki itu sibuk dengan kamera yang setia melingkari lehernya.

Theo suka.

Theo jatuh cinta.

Mungkin, Akk tidak mengenalinya mengingat begitu banyak orang yang berinteraksi dengannya hanya dalam satu hari saja. Sedangkan memori tentang alasan mengapa Theo bisa jatuh cinta kepada lelaki itu terus berputar di dalam pikirannya.

Kala itu, hari keduanya menjejakkan kaki sebagai seorang mahasiswa pindahan di kampus ini. Kampusnya begitu luas sehingga satu hari saja tidak cukup untuk menghafal letak berbagai tempat bagi seorang Theo Asawa-ekanan yang sedikit malas untuk berkeliling sendirian. Sebelumnya, salah seorang teman Theo telah memperingatinya jika Ia harus berhati-hati ketika melewati pintu bagian samping dekat laboratorium karena sedang direnovasi dan terdapat palang kayu di bagian atas. Dahinya bisa terantuk kapan saja jika Ia tidak merunduk karena tubuhnya tinggi.

Ibunya telah memperingatkan berkali-kali untuk memperhatikan apa yang berada di depannya, bukan apa yang ada di bawah. Namun, Theo seolah tidak mengindahkan perkataan ibu dan temannya. Ia berjalan dengan buru-buru menuju kantin karena salah satu mapnya tertinggal, tetapi Ia begitu sibuk memperhatikan lantai sehingga Ia lupa total dengan peringatan mengenai palang kayu yang berada di pintu masuk samping laboratorium.

Nyaris saja dahinya terantuk dengan keras karena Ia tiba-tiba menegakkan kepalanya ketika sampai kurang dari lima sentimeter di depan palang kayu itu, tetapi tangan seseorang menghalangi dahinya supaya tidak terantuk dan lengannya yang lain digunakan untuk menahan bahu Theo yang terhuyung karena terkejut.

Theo masih ingat bagaimana ekspresi seorang Akk Itsara yang menolongnya saat itu bak seorang ksatria yang muncul kapan saja ketika dirinya butuh bantuan. Akk terlihat khawatir, lengannya masih melingkar di bahu Theo sementara tangannya menyentuh dahi Theo yang nyaris terantuk.

“Kamu baik-baik saja, kan?”

Kepalanya jelas baik-baik saja, tetapi jantungnya seolah ingin meledak dan perutnya terasa geli seolah ribuan kupu-kupu berlomba-lomba untuk keluar dari dalam sana. Detik itu, Theo mengerti bagaimana rasanya euforia ketika jatuh cinta.


Entah ramuan cinta macam apa yang diteguk oleh seorang Akk Itsara sehingga lelaki itu begitu mempesona dan sanggup untuk membuat semua orang jatuh cinta padanya. Pemikiran itu terkadang membuat Theo menjadi murung, memikirkan berapa banyak orang yang bersedia untuk bertekuk lutut demi memenangkan hati Akk.

Siang itu, Theo kembali mendapati dirinya duduk di kursi dekat jendela. Tempat yang entah kapan menjadi teritorinya karena tidak ada yang pernah menempati tempat itu selain dirinya. Seakan mereka enggan mengusik tempat kesukaan Theo atau mungkin, tempat ini tidak begitu disukai karena tidak mendapatkan banyak cahaya. Tepat di samping jendela posisinya duduk terdapat pohon yang menjulang tinggi, lebih dari cukup untuk menghalangi sinar matahari yang masuk sementara letaknya berada di pinggir ruangan sehingga sinar lampu tidak begitu menjangkau posisinya.

Awalnya, Theo tidak begitu menyukai tempat itu. Apalagi ketika dirinya tengah membaca buku misteri atau horor, rasanya menjadi sedikit menakutkan. Namun, ada alasan lain mengapa Ia menyukai tempat ini. Akk selalu duduk di meja yang berada di seberang tempatnya duduk. Meletakkan kepalanya di atas meja dan menutupi wajahnya dengan sebuah majalah.

Theo mendapatkan keberuntungannya siang ini dimana Akk tidak menutupi wajahnya dengan lembaran apapun. Sinar matahari melewati sela-sela dedaunan, sedikit menyinari wajah Akk yang tengah terlelap. Theo tidak dapat menyembunyikan senyumannya. Akk sangat mempesona. Lelaki itu semakin tampan dari hari ke hari. Entah memang seperti itu adanya atau Theo sudah jatuh terlalu dalam.

Wajah tampan itu dengan sinar matahari yang mengenai wajahnya dengan malu-malu. Ah, bahkan Theo saja kalah dengan sinar matahari.

“Beruntungnya menjadi sinar matahari.” Bisik Theo kepada dirinya sendiri.

Tanpa mengalihkan pandangannya dari wajah Akk yang tengah terlelap, Theo meraih pulpennya dan mulai menulis di buku catatan yang selalu Ia bawa. Biasanya, Ia menulis kutipan atau alur cerita dari buku-buku yang dibacanya di buku catatan dengan sampul berwarna biru langit itu. Menulis tentang sosok yang tengah singgah di dalam hatinya tidak begitu buruk, kan?

I thought forelsket was just nonsense. Even I believe in fairy tales more than this kind of feeling. Not until the day I met you. Such an epitome of a living fox in The Little Prince universe. Tough yet tender. Today, I saw the scattered light of sunbeam shine through the leaves and touched you. You got sunkissed. I just lost to the sun? Guess that I'll be a forever drenched rose in a huge field. Adoring you in silence, losing its petals as the time goes by.

Tunggu.

Mengapa tulisannya jadi begitu melankolis? Hanya dengan menatap wajah Akk tanpa henti, pikirannya melanglang buana hingga ke poin dimana Theo berpikir jika suatu saat nanti ada seseorang yang menggenggam tangan itu, kemudian menyentuh wajah Akk seperti yang dilakukan oleh sinar matahari.

Theo segera menggelengkan kepalanya, mengusir segala hal yang hinggap di pikirannya sebelum Ia beranjak dari duduknya. Membaca buku romansa ditambah melihat wajah Akk membuatnya sedikit kacau. Theo butuh menenggelamkan dirinya pada tumpukan buku aksi atau misteri. Maka, Ia berjalan dan menyembunyikan tubuhnya di balik rak buku dengan kategori serupa. Berusaha untuk menyegarkan pikirannya dan mencari distraksi selagi memilih judul buku yang menarik hati.

To Kill A Mockingbird

Sebuah judul novel melintas di pikirannya. Sepasang mata Theo berbinar, lekas Ia melangkah sedikit menuju rak yang terletak di sudut ruangan. Ia belum sempat membaca novel itu, tetapi sudah cukup hafal dengan letaknya. Namun, sesampainya di posisi dimana novel itu biasanya berdiri, Theo hanya menemukan beberapa ruang kosong di bagian rak tersebut. Lantas Ia menghela nafas dengan lesu, kemudian menelungkupkan wajahnya di bagian kosong tersebut.

Kekecewaannya karena tidak menemukan buku yang Ia cari sontak mengingatkan tentang rasa kecewa yang Ia alami ketika Ia memikirkan tentang bagaimana jika sosok yang membuatnya jatuh hati suatu saat nanti memiliki seorang kekasih atau apapun itu. Theo menjadi cemburu dan patah hati, padahal Ia belum pernah mencoba untuk bergerak sama sekali.

“Theo, sadar. Sadar. Tenang.”

Theo mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri, menghitung satu sampai sepuluh di dalam hati sebelum Ia menyadari jika ada sosok yang berdiri di hadapannya, tepat di balik rak yang tengah Ia pinjam bagian kosongnya untuk mengistirahatkan kepala.

Ia lekas menegakkan kepalanya, sedikit khawatir apabila itu adalah sang pustakawan yang akan menegurnya. Namun, rasa khawatir itu lenyap begitu saja dan tergantikan oleh jantungnya yang berdegup kencang. Sepasang matanya membulat dan bibirnya terbuka ketika menyadari siapa yang berada di hadapannya.

Akk Itsara.

Sosok Akk Itsara berdiri di hadapannya, memberikan tatapan teduh yang bahkan belum pernah Theo lihat sebelumnya. Nyaris Theo ingin menampar wajahnya sendiri, jikalau saja apa yang terjadi saat ini merupakan mimpi. Namun, jelas ini bukan mimpi ketika siku mereka saling bersentuhan yang menyebabkan jantung Theo berpacu semakin cepat.

“Theo,” panggilnya dengan suara yang terlampau lembut. Sepasang mata mereka saling beradu tatap, seolah terhipnotis oleh sosok yang berada di depannya sehingga Theo tidak dapat mengalihkan pandangannya apalagi melontarkan sepatah kata. “Rubah itu tidak pernah peduli seberapa banyak mawar yang ada di ladang dan kamu terlalu indah untuk disebut sebagai mawar yang layu. Kamu, Pangeran Kecil, yang selalu ditunggu oleh rubah.”

Masih belum sembuh dari rasa terkejutnya, kepala Theo terasa pusing ketika Ia berusaha mencerna kalimat demi kalimat yang dilontarkan oleh Akk. Lelaki itu, tatapannya, suaranya, entah sudah berapa banyak kisah romansa yang Theo baca sehingga Ia berhalusinasi jika lelaki itu mungkin merasakan hal yang sama. Detak jantung yang sangat berisik ini, bukan hanya milik Theo, kan?

Akk mendekatkan wajahnya, membuat hidung mereka saling bersentuhan dan berbisik lirih. “Kamu tidak pernah kalah dari apapun. Sinar matahari itu menang untuk sekali, ayo buat skornya menjadi seri.”

Dunia Theo seolah berhenti berputar ketika Akk sedikit memiringkan wajahnya dan kedua bilah bibir mereka saling bersentuhan. Theo mencengkram lengan bajunya sendiri. Lututnya mendadak lemas ketika bibir keduanya bergerak dengan harmoni, saling mengecup lembut. Melodi romansa yang Theo suka mendadak berputar di dalam kepalanya. Ribuan kupu-kupu seolah berlomba ingin keluar dari perutnya. Kembang api seolah meledak di dalam dadanya, memacu jantungnya untuk berdetak lebih kuat. Aneh, tetapi menyenangkan.

Theo merasakan satu gigitan lembut pada bibir bagian bawahnya sebelum ada jarak yang tercipta antara wajahnya dan wajah Akk. Rona merah memenuhi wajah Theo, menjalar hingga ke telinga ketika lelaki itu tersenyum dan menjulurkan tangannya untuk mengusap sudut bibir Theo dengan lembut.

“Theo punyaku.”

Waktu terasa begitu lambat ketika sang tuan rumah terjatuh ke dalam pelukan sosok wira dengan sepasang iris serupa rubah. Tidak ada suara yang mengalun dari belah bibir keduanya, hanya deru nafas dan detak jarum jam.

Oh, detak jantung siapa ini? Tidak ada yang tahu dan tidak ada pula yang ingin mencari tahu. Seolah keduanya melebur menjadi satu selagi mereka berbagi peluk di atas sofa berwarna putih gading.

Membuang egonya untuk sesaat, sosok wira yang dengan sukarela menyerahkan rengkuhannya itu menyusuri helaian rambut sosok yang berada di dalam pelukan dengan jemarinya. Menimbulkan sensasi yang membuatnya tenang pun membuat jantungnya berdegup dengan kencang.

“Jujur, aku nggak tau kenapa kamu harus punya pikiran kalau kamu nggak berhak buat dapat semua hal itu.” Rentetan kalimat akhirnya keluar sebagai pemecah keheningan yang tercipta. “Kamu udah lakuin yang terbaik dan kamu berhak dapat semua itu.”

“Tapi, gimana kalau aku nggak bisa? Aku bikin kecewa banyak orang?”

Pelukan keduanya mengerat. Yang awalnya hanya sekadar menjadi sebuah penawar, perlahan berubah menjadi sebuah keharusan. Saling mencari entah ketenangan atau kehangatan.

“Kamu bisa. Kamu nggak akan bikin orang-orang kecewa. Semua manusia berhak buat mencoba. Hasilnya hanya berhasil atau gagal. Aku yakin kalau kamu bakalan berhasil. Kalaupun gagal, selalu ada banyak kesempatan. Coba lagi, kamu selalu bisa.”

“Tapi—”

“Kamu punya aku.”

Kala itu, rumah mereka sontak menjadi ramai. Bukan karena ada tamu yang datang melainkan sorakan dari Nata dan Nara yang diterima di sekolah yang sama. Salah satu sekolah menengah atas terbaik di kota tempat mereka tinggal.

Sesuai janji, Force langsung memesan tiket berlibur dan menginap di villa dekat pantai yang selama ini berada di urutan pertama daftar destinasi wisata impian kedua anaknya. Tanpa ragu membuat reservasi selama empat hari tiga malam sebagai bentuk apresiasi terhadap kerja keras Nata dan Nara.

Di hari pertama, semuanya berjalan sangat menyenangkan. Mengelilingi sekitar villa dan mengambil banyak potret keluarga kecil mereka serta pemandangan indah tempat itu. Book berkata jika lebih baik mereka bermain di sekitar pantai pada hari kedua supaya mereka tidak terlalu lelah.

Pada hari selanjutnya, Force mulai merasakan ada sesuatu yang aneh dengan Book. Suaminya itu banyak diam, bahkan tidak jarang pula Ia mendapati sang suami melamun. Wajahnya terlihat sedih.

Tentu saja Force merasa sangat khawatir. Pandangannya tidak dapat terlepas dari sang suami barang sedetikpun. Bahkan ketika mereka mulai menyisir sepanjang pantai. Force sempat berpikir jika Book sedang tidak enak badan, tetapi suaminya itu berkata jika dirinya baik-baik saja.

Force memutuskan untuk percaya dengan perkataan sang suami. Berpikir jika mungkin Book hanya kelelahan setelah perjalanan mereka yang cukup panjang ditambah Ia sempat lembur demi mendapatkan cuti lebih awal.

Namun, di hari selanjutnya, ekspresi sedih itu tidak kunjung pergi dari wajah Book. Ketika mereka berkunjung ke pulau seberang menggunakan perahu dan menjelajah desa wisata di sana, Force terus memerhatikan wajah suaminya yang kian sendu.

Lelaki itu memutar otaknya, berpikir bagaimana cara untuk mengajak sang suami berbicara tanpa membuat kedua anaknya ikut khawatir. Ketika Nata dan Nara mencoba untuk berenang di tepi pantai dengan dua orang penjaga profesional, Force mengajak Book untuk duduk di bawah pohon kelapa di tepi pantai.

“Sayang, kamu dari kemarin kayak gini, loh.” Lengannya melingkar di kedua bahu Book, sementara bahunya menjadi tempat bersandar kepala sang suami. “Cerita sama aku ya, mumpung anak-anak lagi pada main. Kamu kenapa?”

Book semakin mendekat ke dalam rengkuhan suaminya, menyamankan posisinya sebelum Ia mulai bersuara selagi sepasang matanya menatap ke arah depan. Ke arah kedua anaknya yang sedang tertawa dengan rumput laut di tangan mereka.

“Aku senang banget karena mereka bisa masuk sekolah impian mereka. Aku senang banget waktu kemarin mereka fitting seragam.” Jemarinya bermain di kemeja oranye sang suami. “Tapi, aku juga sedih. Kenapa mereka cepat banget besarnya, ya? Aku rasanya agak nggak rela. Aku belum siap lihat mereka makin besar, terus jauh dari aku. Aku masih mau peluk mereka sebelum tidur.”

Force tersenyum tipis, akhirnya mengerti penyebab dari kesedihan yang tiba-tiba singgah di hati dan pikiran suaminya. Akhirnya mengerti tentang alasan mengapa sang suami tampak tidak betah ketika mereka sedang fitting seragam Nata dan Nara tempo hari. Ternyata, suaminya itu merasa sedikit tidak rela untuk melihat kedua anaknya beranjak dewasa.

Maka, Ia eratkan pelukannya dan beri elusan lembut sebagai penenang pada punggung sang suami. Satu kecupan mendarat di pelipis sebelum Ia mulai berbicara untuk mengusir kesedihan yang singgah.

“Rasanya baru kemarin ya mereka pegang satu jari kamu dengan genggaman penuh dan sekarang mereka tingginya udah hampir melebihi kamu,” Force terkekeh pelan sementara tangannya tidak berhenti memberi elusan. “Sayang, aku ngerti perasaan kamu. Pasti nggak rela ya lihat mereka tiba-tiba udah besar kayak begini? They will be adults eventually and we definitely can't escape from this phase.”

Force dapat mendengar dengan jelas helaan nafas berat Book, tanda jika lelaki yang sedang berada di dalam pelukannya itu tengah menahan tangis.

But, no matter how big they will be, they will always be our little boys. Nata sama Nara tau kalau selamanya mereka tetap akan jadi anak kecil di mata kita. Bukan dalam artian kita akan selalu treat mereka kayak anak kecil, tapi rasa sayangnya. The love still remains the same. Mau tumbuh sedewasa apapun mereka, rasa sayang kita tetap sama dengan sewaktu mereka masih kecil dan nggak akan pernah berubah.”

Pelukan keduanya semakin mengerat satu sama lain.

“Jadi, jangan khawatir dan terlalu dipikirin, ya? Kamu harus percaya kalau mereka juga akan selalu sayang sama kamu sampai kapanpun. Aku sayang sama kamu. Nata dan Nara sayang sama kamu. Kamu nggak akan pernah sendirian, sayang.”

Book nyaris terlonjak dari tempat tidur Nata ketika melihat jam di meja nakas anak sulungnya itu menunjukkan pukul tujuh, nyaris panik ketika tidak mendapati si sulung di sebelahnya. Kemudian Ia menyadari jika hari ini sudah memasuki akhir pekan.

Tanpa berpikir dua kali, Ia segera melangkah keluar dan mendapati suasana rumah yang begitu sepi. Tidak ada suara keributan dua anaknya yang berebut channel televisi atau suara dentingan piring dan sendok dari ruang makan.

Apakah Nata ada di kamar Nara?

Lelaki dewasa itu justru melangkahkan sepasang kakinya ke arah ruang tengah, matanya masih setengah terpejam karena masih mengantuk. Baru saja tiga langkah, Ia menabrak seseorang di depannya. Book mengaduh karena dahinya terantuk cukup keras dengan bahu sosok itu.

“Aduh, sayang. Maaf maaf, sakit ya?”

Tiba-tiba rasa kantuknya hilang ketika Ia mendengar suara lembut sang suami lengkap dengan usapan lembut di dahinya.

Book lekas mengusap matanya dengan punggung tangan sebelum memalingkan wajahnya dan berdeham pelan. “I-iya, nggak apa-apa. Akunya aja tadi yang nggak hati-hati.”

Kemudian hening. Baik Force maupun Book, keduanya sibuk hanyut dalam pikiran masing-masing. Merutuki diri sendiri dalam hati karena teringat akan pertengkaran mereka kemarin yang mengejutkan kedua buah hati mereka.

Oh, Nata dan Nara!

“Lihat kakak sama adek, nggak?” Tanya Book seraya menggerakkan sepasang bola matanya kesana kemari, berusaha mencari eksistensi kedua anaknya di penjuru rumah.

Force menggelengkan kepalanya sebelum ikut celingukan. “Nggak, aku baru bangun. Kaget udah jam segini, tapi nggak ada suara Nata sama Nara rebutan remote. Di kamar Nara ada, nggak?”

Book mengangkat kedua bahunya sebelum memberanikan diri untuk menggenggam tangan sang suami, kemudian menariknya untuk menjauh dari ruang tengah. “Mungkin, main sama Paofeii di belakang. Kita cari, yuk?”

Dua pasang kaki itu melangkah dengan perlahan, diam-diam menikmati kehangatan yang tercipta hanya karena tangan mereka yang saling menggenggam satu sama lain. Baru dua malam mereka tidak berbagi peluk di atas ranjang, tetapi rasanya seperti dua tahun. Sibuk menyesali pertengkaran sebab salah paham yang tercipta, saling melepas rindu dalam diam.

Langkah keduanya terhenti ketika mereka memasuki ruang makan. Mendapati meja makan yang tersusun dengan rapi, dua piring nasi hangat dan ayam kecap yang dimasak Book bersama Nata kemarin lengkap dengan dua gelas minuman segar.

Sepasang suami itu saling bertatapan, mencoba untuk menerka-nerka apa yang dilakukan oleh kedua anaknya ketika mereka tertidur dengan lelap. Tanpa mengeluarkan suara, mereka melangkah mendekat ke arah meja makan dan menyadari jika di tengah-tengah meja ada selembar kertas dengan tulisan yang sangat mereka kenal.

Force meraih kertas di atas meja itu, membacanya bersama dengan Book. Senyumnya mengembang ketika membaca rentetan kalimat yang ditulis oleh kedua anaknya sebelum Ia sedikit terbelalak karena mendengar isakan sang suami.

Tanpa berpikir dua kali, lekas Ia meraih tubuh lelaki yang Ia cintai itu ke dalam pelukan. Membuang semua kemarahan dan egonya, Force menghujani pucuk kepala Book dengan kecupan.

“Sarapan dulu, yuk? Anak-anak pasti bangunnya pagi banget buat siapin sarapan. Sekalian nunggu mereka pulang, terus nanti kita piknik, ya.”

Force tersenyum seraya mengangkat dagu suaminya, menyeka air mata yang membasahi wajah itu sebelum Ia mendekatkan wajahnya dan mendaratkan kecupan di bibir sang suami.

“Aku sayang kamu.”

Ternyata benar apa yang Nara katakan beberapa menit lalu via pesan. Setelah pikiran dan batin Nata berdebat tentang apakah Ia harus bertanya pada papi, lima menit kemudian papi berbalik dan membuka suara.

Papi duduk bersandar di kepala kasur sementara Nata merebahkan kepalanya di atas pangkuan papi, membiarkan lelaki dewasa itu mengusap helaian rambutnya dengan penuh kasih sayang.

“Kakak, papi minta maaf ya tadi kakak nggak jadi makan dan bikin kakak takut.” Ucap papi, suaranya terdengar sedih dan Nata benci hal itu. Nata tidak suka jika papi bersedih seperti ini.

Tidak dapat dipungkiri jika Nata memang takut dan diliputi oleh rasa khawatir. Namun, perkataan Nara membuatnya tersadar jika hal seperti ini setidaknya pasti akan terjadi satu kali seumur hidup dan kedua orang tuanya sebagai orang dewasa mampu menyelesaikan masalah mereka sendiri.

Nata mengangguk pelan kemudian meraih pergelangan tangan papi, memindahkannya ke sisi wajahnya, dan membiarkan papi untuk mengelus pipinya.

“Nggak apa-apa, papi. Nata ngerti, kok.” Nata sedikit bergeser dari posisinya untuk menatap papi. “Papi sama papa kenapa berantem? Nata sama Nara nakal ya?”

Papi lekas menggelengkan kepalanya untuk menyangkal pertanyaan Nata sembari tangannya tidak berhenti memberi elusan di pipi supaya anak sulungnya itu merasa tenang.

“Enggak, kakak. Ini bukan karena kakak sama adek. Jangan mikir begitu, ya?” Ucap papi, tatapannya sendu. Nata merasa sedikit menyesal karena bertanya seperti itu. “Papi sama papa lagi sama-sama capek tentang kerjaan. Lagi sama-sama egois dan nggak mau kalah, jadinya salah paham begini.”

Kini gantian Nata yang memberi elusan sebagai penenang pada punggung tangan papi. Tidak membuka mulutnya untuk mengeluarkan suara, membiarkan papi menyelesaikan ceritanya.

Awalnya, papi ragu untuk bercerita karena takut jika anaknya semakin khawatir. Namun, Ia pun berpikir jika anaknya berhak tahu tentang apa yang terjadi di antara mereka berdua.

“Kemarin penerbit majalah tempat papi kerja lagi ada masalah di bagian atas, ada miskoordinasi dan bikin papi harus kerja dua kali, tapi nggak ada kompensasi. Makanya, papi jadi agak stress.” Kata papi, pandangannya menerawang ke depan. “Di saat yang sama, papa juga lagi ada masalah di kantor. Katanya papa mau dimutasi ke luar kota, kemarin malam papi nemu surat mutasinya dan udah semingguan, tapi papa nggak cerita. Jadinya, papi marah karena merasa papa nggak mau jujur dan papa juga marah karena papi nggak mau dengar penjelasan dia.”

Nata mengerjab, ternyata masalah orang dewasa memang serumit itu. Tidak hanya sekadar berebut potongan roti yang paling besar atau berebut channel televisi seperti yang dilakukan Nata dan Nara.

“Terus papa jadinya pindah, ya?”

Papi menggeleng dan tertawa pelan. “Ternyata ya ada kesalahan juga dari pusat. Yang harusnya dimutasi itu teman papa, dia memang minta pindah karena lebih dekat dengan keluarganya di sana. Nggak tau kenapa malah salah input nama papa. Papi baru tau ini tadi, jadi nyesel karena udah kebawa emosi.”

Akhirnya, Nata mengerti sekarang. Benar apa yang dikatakan Nara. Semua ini berawalan dari salah paham dan ego dua orang dewasa yang sulit untuk diturunkan. Permasalahan papa dan papi tidak jauh dari pekerjaan.

“Kakak jangan kayak papi, ya? Kalau ada apa-apa, pokoknya kakak harus tanya dan tunggu penjelasan dari orang itu.”

Si sulung buru-buru menegakkan tubuhnya ketika mendengar papi berkata seperti itu, kemudian merengek. “Papi kenapa ngomongnya begitu, sih?!”

Papi hanya tertawa, kali ini benar-benar tertawa dan membuat Nata menjadi lebih lega.

“Nata rasa hal kayak gini tuh wajar, papi. Manusiawi. Nata ngerti posisi papa yang bingung karena dapat pemberitahuan tiba-tiba begitu, tapi Nata juga ngerti gimana perasaan papi yang tiba-tiba nemu surat mutasi setelah satu minggu papa nggak bilang apapun.”

Nata tersenyum kecil sebelum memainkan jemari papi yang tengah Ia genggam dengan erat.

“Papi pasti capek ya kerja dua kali dan nggak dapat bayaran yang setimpal? Kalau Nata pasti udah marah-marah, tapi kenapa papi bisa sabar begini, sih. Lain kali cerita sama Nata dan Nara, ya? Walaupun kita nggak bisa bantu kerjaan papi, tapi kita bisa bantu pijat pundak papi biar pegalnya hilang.” Nata kembali merebahkan tubuhnya di atas kasur, memeluk pinggang papi dari samping. “Kalau papa capek, Nata sama Nara bisa bantu cuci mobil dan bersih-bersih taman sama kolam ikan. Kalau papi capek, Nata sama Nara bisa bantu masak sama beres-beres rumah. Kalau Nata sama Nara nakal juga nggak apa-apa dimarahin. Asal jangan kayak kemarin ya, pi? Ayam kecapnya jadi nganggur di kulkas.”

Mendengar perkataan panjang lebar dari si sulung membuat air mata papi turun membasahi wajahnya. Namun, Ia tetap tertawa dan berusaha supaya anaknya itu tidak menyadari jika dirinya tengah menangis. Membiarkan Nata tetap membenamkan wajah di pinggangnya.

“Kakak sama adek nggak pernah bikin papi sama papa marah, kok. Kakak sama adek selalu bikin papi sama papa senang. Besok kita hangatin ayam kecapnya dan makan bareng lagi, ya?”

Papi menghapus jejak air matanya sebelum turut merebahkan tubuhnya di sebelah si sulung. Membawa anaknya itu ke dalam pelukan dan memberi tepukan lembut di sisi pinggul Nata.

“Jadi inget dulu waktu kakak kecil, nggak bisa tidur kalau belum papi tepukin pantatnya.” Ucap papi dengan jahil, mengundang rengekan protes dari Nata.

Tepat pada pukul sepuluh malam, papi tertidur lelap sembari memeluk Nata setelah anak itu mengoceh tentang banyak hal. Nata tersenyum sebelum mengeratkan pelukannya dengan papi.

Jika waktu bisa diputar, Nata tetap ingin hadir dan menghabiskan waktunya sebagai bagian dalam keluarga kecil ini. Bahkan jika kehidupan lain itu benar-benar nyata, Nata berharap jika di dunia itu, Nata tetap menghabiskan waktunya dengan papa, papi, dan Nara.

Ternyata, selain flu dan batuk, asumsi buruk juga dapat menular walaupun hanya melalui pesan di layar ponsel. Nara yang awalnya hanya lelah karena latihan basket, kini merasa pusing karena memikirkan perkataan Nata.

Ditambah lagi, atmosfer di dalam mobil papa terasa beda. Nara tahu jika dua hari yang lalu papa baru saja membetulkan pendingin mobil, tetapi Nara tidak pernah berpikir jika suasananya akan sedingin ini.

Biasanya, papa sering menggoda Nara dan anak bungsunya itu akan menggerutu, mengancam akan mengadukannya ke papi. Namun, hari ini papa tampak hanyut dalam pikirannya sendiri.

Nara berdeham sesaat sebelum pura-pura sibuk mengibaskan baju basket yang dipakainya. “Keringetan banget nih, pa. Bau nggak, sih? Mobilnya habis dicuci ya kemarin?”

Papa terkekeh pelan sebelum mengangguk, pandangannya tetap lurus ke depan ke arah jalanan. “Iya, kemarin habis dicuci. Tapi, nggak apa-apa. Namanya juga habis olahraga pasti bau keringat.”

Setelahnya hening lagi. Nara merutuki dirinya sendiri di dalam hati kenapa Ia sulit sekali untuk membuka pembicaraan. Sifatnya yang satu ini persis sekali dengan sifat papi. Keduanya lebih pintar memosisikan diri sebagai pendengar, sementara papa dan Nara selalu mengambil posisi sebagai sosok yang punya segudang topik pembicaraan.

Akan tetapi, jika sosok yang punya peran itu sekarang hanya diam dan hanyut dalam pikirannya sendiri, apa yang harus Nara lakukan?

“Pa, udah makan?”

Hanya pertanyaan itu yang terlintas di dalam kepala Nara. Papa menggeleng sebelum senyuman lebar serupa rubah akhirnya mampir di wajah lelaki itu. Nara merasa lega. Akhirnya, papa tersenyum seperti itu lagi.

“Belum. McDonald's, yuk?”

Nara mengangguk dengan semangat.

Ternyata memang ada yang tidak beres dan Nata tidak tahu apa yang sedang terjadi. Tadinya Nata hanya membuat asumsi dan mencoba menepisnya, tetapi keheningan yang tercipta di dalam mobil papi membuat Nata semakin yakin jika ada sesuatu yang salah.

Sepuluh menit yang lalu, ketika Nata masuk ke dalam mobil, Ia telah mengoceh panjang lebar dan anehnya, papi hanya tertawa sesaat kemudian kembali fokus berkendara.

Mungkin, papi lelah. Namun, papi tidak pernah diam seribu bahasa seperti ini sebelumnya. Nata jadi sungkan untuk terus bercerita apalagi bertanya pada papi. Bahkan, ketika mereka berhenti di lampu merah pun, papi lebih memilih untuk melamun daripada berbicara dengan anak sulungnya sampai mobil di belakang mereka membunyikan klakson karena papi hanyut dalam pikirannya sendiri.

“Papi udah makan?”

Akhirnya, Nata memberanikan diri untuk membuka suara setelah hampir lima belas menit mereka dinaungi oleh keheningan. Helaan nafas lega terdengar dengan sangat jelas dari Nata ketika papi sedikit menoleh ke arahnya seraya tersenyum.

Setidaknya, Nata bukan alasan papi marah atau apapun itu.

“Belum, sayang.” Sahut papi seraya mengangkat tangan kirinya untuk mengelus pucuk kepala Nata sebelum kembali meletakkannya di atas kemudi. “Nata mau makan apa? Kita masak bareng, yuk!”

Sepasang mata Nata berbinar, Ia segera menegakkan posisi duduknya dan mengangguk dengan antusias. “Mau! Kita masak ayam kecap yuk, papi?”

Papi menganggukkan kepalanya, menyetujui permintaan Nata. Hal sederhana ini sukses membuat Nata bahagia, rasanya seperti Ia dapat meloncat keluar angkasa karena setidaknya, sekarang Ia dan papi mulai bersahut-sahutan membicarakan banyak hal setelah mereka terjebak di dalam keheningan.

Semoga papi akan selalu tersenyum seperti ini.

Setelah menyantap lima sendok bubur dan menelan satu tablet obat penurun panas, akhirnya Nata tertidur di pelukan papi. Tubuhnya dibalut dengan piyama hangat dan selimut tebal sementara satu plester penurun panas menempel di dahinya.

Papa menghela napas dengan sedikit lega, lalu menyentuh pipi Nata yang masih terasa panas. Setidaknya, tidak sepanas ketika Nara menemukannya tergeletak lemas di ruang tengah.

“Kakak kenapa ya, kok tiba-tiba sakit?” Gumam papi, suaranya terdengar sedih dan jemarinya sibuk menari-nari di surai hitam si sulung.

Setelah kedatangan papa dan papi, kepanikan Nara sedikit menghilang. Ia duduk di pinggiran kasur Nata, tepat di sebelah papi. “Kayaknya karena waktu itu dia kena gerimis terus nggak langsung keramas, pi. Dulu pernah gini juga, kan? Tapi, yang ini panas banget.”

Papi mengangguk setuju kemudian mengeratkan pelukannya pada si sulung. “Emang ngeyel banget kakak kamu kalau dibilangin.” Satu kecupan dari papi mendarat di pucuk kepala yang tengah jatuh sakit.

Papa tertawa pelan ketika Ia melihat ekspresi si bungsu yang berubah, bibirnya maju satu senti ketika melihat sang papi mengecup kepala kakaknya. “Sayang, lihat tuh. Ada yang cemburu.” Ucap papa seraya mengangkat dagunya, memberikan isyarat menunjuk ke arah Nara.

Papi sontak menoleh ke arah Nara dan terkekeh sebelum memindahkan satu lengannya, menarik si bungsu ke dalam dekapan. “Lengan papi masih cukup kok buat peluk Nata sama Nara barengan.”

Perlahan, sebuah senyuman merekah di wajah Nara. Ia membalas pelukan papi dengan erat. Jika saja Nata tidak jatuh terlelap, Nara tidak akan bersikap manja seperti ini. Mungkin, gengsi. Nara terlalu sering menunjukkan sikap acuh tak acuh di depan kakaknya, padahal sikap manjanya tidak jauh berbeda.

Papi yang sudah hafal di luar kepala tentang sifat kedua anaknya hanya tersenyum, menahan tawa. Nata dasarnya memang manja dan sikap manjanya semakin bertambah jika Ia sedang sakit. Sementara Nara selalu ikut 'tertular' sikap manja Nata yang sedang sakit.

“Adek sudah makan?”

Nara mengangguk untuk menjawab pertanyaan papi. “Tadi pas basket udah makan sama teman. Nara bawa siomay buat Nata, tapi Nata sakit jadi nggak mau makan. Nara taruh di kulkas kalau papa atau papi mau makan, dihangatin dulu.”

Papa yang sedari tadi hanya memerhatikan suami dan anak-anaknya kini bergeser lebih dekat untuk mengusap helaian rambut Nara sebelum mendaratkan satu kecupan di pelipis Nata.

“Kalau Nata udah sembuh, kita jalan-jalan ya. Kerjaan papa udah selesai semua.” Ucap lelaki dewasa dengan mata serupa rubah itu sebelum memindahkan tangannya untuk menutup mata Nara dan mendaratkan kecupan di atas bibir papi.

Nara merengek pelan, tidak mengerti mengapa papa tiba-tiba menutup matanya sementara papi hanya membulatkan matanya dan tertawa pelan.

Tanpa mereka sadari, sejak tadi Nata diam-diam sedikit membuka kelopak matanya yang terasa berat dan berusaha menahan tawanya. Nata sayang, sangat sayang, dengan papa, papi, dan Nara.

“Nata, gue pulang!”

Nara berseru seraya menekan bel ketika sepasang kakinya telah menjejak di depan pintu rumah. Ia perlahan melepas sepatunya sebelum kembali menekan bel karena Nata tidak kunjung membukakan pintu.

“Lagi mandi apa, ya?” Gumam Nara seraya mencoba untuk mengetuk pintu. Bukannya mendapati sang kakak yang membuka pintu, Ia justru mendapati jika pintu depan tidak terkunci.

Anak lelaki dengan pakaian pakaian basket itu mengerutkan keningnya sebelum melangkah ke dalam rumah dengan was-was. Suasana di dalam rumah sangat hening, Nara hanya mendengar suara jarum jam dan sayup-sayup suara kecipak air kolam di halaman belakang.

“Nata, hey! Gue bawa siomay, nih.”

Nara melangkah semakin ke dalam dan tetap bersuara untuk memecah keheningan. Aneh. Rasanya aneh. Tidak ada suara Nata dan pintu tidak dikunci. Rasanya, Nata tidak pernah seceroboh itu untuk meninggalkan pintu depan rumah mereka tidak terkunci.

Si bungsu itu sudah lebih dari siap untuk melempar bungkusan siomay di tangannya apabila hal buruk yang melintas di pikirannya betulan terjadi.

Namun, hal selanjutnya yang didapati justru membuatnya nyaris berteriak. Ketika langkahnya mencapai ruang tengah, Nara melihat Nata yang sedang meringkuk di atas karpet tebal. Wajahnya pucat dan tubuhnya tampak menggigil.

“Nata!”

Nara lekas menaruh bungkusan siomay yang dibelinya di atas meja dan menghampiri Nata, kemudian Ia terkejut ketika menyentuh badan kakaknya yang panas. Kakaknya itu bergumam pelan, tidak jelas apa yang dikatakannya, tetapi Nara sekilas dapat menangkap jika Nata sedang merasa pusing luar biasa.

Nara panik setengah mati.