Bagian 202.
Waktu terasa begitu lambat ketika sang tuan rumah terjatuh ke dalam pelukan sosok wira dengan sepasang iris serupa rubah. Tidak ada suara yang mengalun dari belah bibir keduanya, hanya deru nafas dan detak jarum jam.
Oh, detak jantung siapa ini? Tidak ada yang tahu dan tidak ada pula yang ingin mencari tahu. Seolah keduanya melebur menjadi satu selagi mereka berbagi peluk di atas sofa berwarna putih gading.
Membuang egonya untuk sesaat, sosok wira yang dengan sukarela menyerahkan rengkuhannya itu menyusuri helaian rambut sosok yang berada di dalam pelukan dengan jemarinya. Menimbulkan sensasi yang membuatnya tenang pun membuat jantungnya berdegup dengan kencang.
“Jujur, aku nggak tau kenapa kamu harus punya pikiran kalau kamu nggak berhak buat dapat semua hal itu.” Rentetan kalimat akhirnya keluar sebagai pemecah keheningan yang tercipta. “Kamu udah lakuin yang terbaik dan kamu berhak dapat semua itu.”
“Tapi, gimana kalau aku nggak bisa? Aku bikin kecewa banyak orang?”
Pelukan keduanya mengerat. Yang awalnya hanya sekadar menjadi sebuah penawar, perlahan berubah menjadi sebuah keharusan. Saling mencari entah ketenangan atau kehangatan.
“Kamu bisa. Kamu nggak akan bikin orang-orang kecewa. Semua manusia berhak buat mencoba. Hasilnya hanya berhasil atau gagal. Aku yakin kalau kamu bakalan berhasil. Kalaupun gagal, selalu ada banyak kesempatan. Coba lagi, kamu selalu bisa.”
“Tapi—”
“Kamu punya aku.”