FORELSKET

Terhitung sudah hampir satu tahun sejak kepindahan Theo ke kota ini, seolah memulai kehidupan baru dengan tempat dan orang-orang yang baru pula. Setidaknya begitulah kata sang ibu. Namun, tidak ada perubahan signifikan terhadap kepribadian Theo itu sendiri. Bahkan ketika ibunya sudah memiliki relasi yang cukup luas di kota ini hanya dalam kurun waktu satu tahun, Theo tetap menghabiskan waktunya untuk menyendiri di dalam perpustakaan ketika Ia berada di kampus.

Dengan wajah dan perawakannya yang mempesona bak seorang pangeran dari negeri selatan itu jelas membuat cukup banyak orang yang memusatkan atensi mereka pada Theo. Akan tetapi, Theo begitu tampak menutup dirinya sehingga tidak begitu banyak orang yang menghampiri kemudian julukan 'Pangeran Penghuni Perpustakaan' itu muncul begitu saja entah darimana asalnya. Theo tidak begitu memedulikan hal seperti itu.

Sebenarnya, Theo tidak menutup diri. Ia terlalu malu untuk sekadar memulai sebuah percakapan atau menyapa orang yang Ia kenal dan temui ketika berpapasan. Ia tetap memiliki teman, tetapi tidak bisa dikategorikan sebagai teman dekat karena mereka hanya berbagi dan mengeluh tentang perkuliahan saja. Selebihnya tidak ada, entah itu tentang hal sepele yang terjadi dalam keseharian atau bahkan hal seperti kisah romansa di kampus.

Omong-omong soal kisah romansa, dusta adanya apabila Theo berkilah jika Ia tidak pernah menemukan seseorang yang mencuri perhatiannya selama satu tahun Ia menempuh pendidikan di tempat ini. Mungkin, orang-orang berpikir jika Theo hanya peduli dengan tumpukan buku yang dipinjamnya, tetapi sosok yang berhasil mencuri perhatiannya itulah yang menjadi alasan mengapa Ia begitu betah menghabiskan waktu di perpustakaan.

Namanya Akk Itsara. Semua orang mengenal lelaki itu. Wajahnya tampan, tubuhnya jauh lebih bagus daripada tubuh Theo. Begitu ramah dan kehadirannya selalu mengundang tawa, tidak heran jika banyak orang berlomba-lomba ingin dekat dengannya. Apabila Theo memiliki kepribadian serupa, pasti Ia bisa terkenal seperti Akk Itsara.

Lelaki yang sepasang mata dan senyumannya itu selalu mengingatkan Theo kepada hewan bernama rubah suka sekali menghabiskan waktunya di perpustakaan. Namun, bukan untuk mengerjakan tugas atau membaca buku seperti apa yang Theo lakukan, lelaki itu justru melepas penatnya alias terlelap di sudut perpustakaan dengan satu majalah untuk menutupi wajahnya.

Theo selalu memperhatikannya dalam diam. Ia suka ketika cengiran tanpa rasa bersalah mampir di wajah Akk ketika pustakawan datang menghampirinya karena lelaki itu terlalu keras mendengkur. Ia suka ketika ekspresi Akk berubah serius ketika lelaki itu sibuk dengan kamera yang setia melingkari lehernya.

Theo suka.

Theo jatuh cinta.

Mungkin, Akk tidak mengenalinya mengingat begitu banyak orang yang berinteraksi dengannya hanya dalam satu hari saja. Sedangkan memori tentang alasan mengapa Theo bisa jatuh cinta kepada lelaki itu terus berputar di dalam pikirannya.

Kala itu, hari keduanya menjejakkan kaki sebagai seorang mahasiswa pindahan di kampus ini. Kampusnya begitu luas sehingga satu hari saja tidak cukup untuk menghafal letak berbagai tempat bagi seorang Theo Asawa-ekanan yang sedikit malas untuk berkeliling sendirian. Sebelumnya, salah seorang teman Theo telah memperingatinya jika Ia harus berhati-hati ketika melewati pintu bagian samping dekat laboratorium karena sedang direnovasi dan terdapat palang kayu di bagian atas. Dahinya bisa terantuk kapan saja jika Ia tidak merunduk karena tubuhnya tinggi.

Ibunya telah memperingatkan berkali-kali untuk memperhatikan apa yang berada di depannya, bukan apa yang ada di bawah. Namun, Theo seolah tidak mengindahkan perkataan ibu dan temannya. Ia berjalan dengan buru-buru menuju kantin karena salah satu mapnya tertinggal, tetapi Ia begitu sibuk memperhatikan lantai sehingga Ia lupa total dengan peringatan mengenai palang kayu yang berada di pintu masuk samping laboratorium.

Nyaris saja dahinya terantuk dengan keras karena Ia tiba-tiba menegakkan kepalanya ketika sampai kurang dari lima sentimeter di depan palang kayu itu, tetapi tangan seseorang menghalangi dahinya supaya tidak terantuk dan lengannya yang lain digunakan untuk menahan bahu Theo yang terhuyung karena terkejut.

Theo masih ingat bagaimana ekspresi seorang Akk Itsara yang menolongnya saat itu bak seorang ksatria yang muncul kapan saja ketika dirinya butuh bantuan. Akk terlihat khawatir, lengannya masih melingkar di bahu Theo sementara tangannya menyentuh dahi Theo yang nyaris terantuk.

“Kamu baik-baik saja, kan?”

Kepalanya jelas baik-baik saja, tetapi jantungnya seolah ingin meledak dan perutnya terasa geli seolah ribuan kupu-kupu berlomba-lomba untuk keluar dari dalam sana. Detik itu, Theo mengerti bagaimana rasanya euforia ketika jatuh cinta.


Entah ramuan cinta macam apa yang diteguk oleh seorang Akk Itsara sehingga lelaki itu begitu mempesona dan sanggup untuk membuat semua orang jatuh cinta padanya. Pemikiran itu terkadang membuat Theo menjadi murung, memikirkan berapa banyak orang yang bersedia untuk bertekuk lutut demi memenangkan hati Akk.

Siang itu, Theo kembali mendapati dirinya duduk di kursi dekat jendela. Tempat yang entah kapan menjadi teritorinya karena tidak ada yang pernah menempati tempat itu selain dirinya. Seakan mereka enggan mengusik tempat kesukaan Theo atau mungkin, tempat ini tidak begitu disukai karena tidak mendapatkan banyak cahaya. Tepat di samping jendela posisinya duduk terdapat pohon yang menjulang tinggi, lebih dari cukup untuk menghalangi sinar matahari yang masuk sementara letaknya berada di pinggir ruangan sehingga sinar lampu tidak begitu menjangkau posisinya.

Awalnya, Theo tidak begitu menyukai tempat itu. Apalagi ketika dirinya tengah membaca buku misteri atau horor, rasanya menjadi sedikit menakutkan. Namun, ada alasan lain mengapa Ia menyukai tempat ini. Akk selalu duduk di meja yang berada di seberang tempatnya duduk. Meletakkan kepalanya di atas meja dan menutupi wajahnya dengan sebuah majalah.

Theo mendapatkan keberuntungannya siang ini dimana Akk tidak menutupi wajahnya dengan lembaran apapun. Sinar matahari melewati sela-sela dedaunan, sedikit menyinari wajah Akk yang tengah terlelap. Theo tidak dapat menyembunyikan senyumannya. Akk sangat mempesona. Lelaki itu semakin tampan dari hari ke hari. Entah memang seperti itu adanya atau Theo sudah jatuh terlalu dalam.

Wajah tampan itu dengan sinar matahari yang mengenai wajahnya dengan malu-malu. Ah, bahkan Theo saja kalah dengan sinar matahari.

“Beruntungnya menjadi sinar matahari.” Bisik Theo kepada dirinya sendiri.

Tanpa mengalihkan pandangannya dari wajah Akk yang tengah terlelap, Theo meraih pulpennya dan mulai menulis di buku catatan yang selalu Ia bawa. Biasanya, Ia menulis kutipan atau alur cerita dari buku-buku yang dibacanya di buku catatan dengan sampul berwarna biru langit itu. Menulis tentang sosok yang tengah singgah di dalam hatinya tidak begitu buruk, kan?

I thought forelsket was just nonsense. Even I believe in fairy tales more than this kind of feeling. Not until the day I met you. Such an epitome of a living fox in The Little Prince universe. Tough yet tender. Today, I saw the scattered light of sunbeam shine through the leaves and touched you. You got sunkissed. I just lost to the sun? Guess that I'll be a forever drenched rose in a huge field. Adoring you in silence, losing its petals as the time goes by.

Tunggu.

Mengapa tulisannya jadi begitu melankolis? Hanya dengan menatap wajah Akk tanpa henti, pikirannya melanglang buana hingga ke poin dimana Theo berpikir jika suatu saat nanti ada seseorang yang menggenggam tangan itu, kemudian menyentuh wajah Akk seperti yang dilakukan oleh sinar matahari.

Theo segera menggelengkan kepalanya, mengusir segala hal yang hinggap di pikirannya sebelum Ia beranjak dari duduknya. Membaca buku romansa ditambah melihat wajah Akk membuatnya sedikit kacau. Theo butuh menenggelamkan dirinya pada tumpukan buku aksi atau misteri. Maka, Ia berjalan dan menyembunyikan tubuhnya di balik rak buku dengan kategori serupa. Berusaha untuk menyegarkan pikirannya dan mencari distraksi selagi memilih judul buku yang menarik hati.

To Kill A Mockingbird

Sebuah judul novel melintas di pikirannya. Sepasang mata Theo berbinar, lekas Ia melangkah sedikit menuju rak yang terletak di sudut ruangan. Ia belum sempat membaca novel itu, tetapi sudah cukup hafal dengan letaknya. Namun, sesampainya di posisi dimana novel itu biasanya berdiri, Theo hanya menemukan beberapa ruang kosong di bagian rak tersebut. Lantas Ia menghela nafas dengan lesu, kemudian menelungkupkan wajahnya di bagian kosong tersebut.

Kekecewaannya karena tidak menemukan buku yang Ia cari sontak mengingatkan tentang rasa kecewa yang Ia alami ketika Ia memikirkan tentang bagaimana jika sosok yang membuatnya jatuh hati suatu saat nanti memiliki seorang kekasih atau apapun itu. Theo menjadi cemburu dan patah hati, padahal Ia belum pernah mencoba untuk bergerak sama sekali.

“Theo, sadar. Sadar. Tenang.”

Theo mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri, menghitung satu sampai sepuluh di dalam hati sebelum Ia menyadari jika ada sosok yang berdiri di hadapannya, tepat di balik rak yang tengah Ia pinjam bagian kosongnya untuk mengistirahatkan kepala.

Ia lekas menegakkan kepalanya, sedikit khawatir apabila itu adalah sang pustakawan yang akan menegurnya. Namun, rasa khawatir itu lenyap begitu saja dan tergantikan oleh jantungnya yang berdegup kencang. Sepasang matanya membulat dan bibirnya terbuka ketika menyadari siapa yang berada di hadapannya.

Akk Itsara.

Sosok Akk Itsara berdiri di hadapannya, memberikan tatapan teduh yang bahkan belum pernah Theo lihat sebelumnya. Nyaris Theo ingin menampar wajahnya sendiri, jikalau saja apa yang terjadi saat ini merupakan mimpi. Namun, jelas ini bukan mimpi ketika siku mereka saling bersentuhan yang menyebabkan jantung Theo berpacu semakin cepat.

“Theo,” panggilnya dengan suara yang terlampau lembut. Sepasang mata mereka saling beradu tatap, seolah terhipnotis oleh sosok yang berada di depannya sehingga Theo tidak dapat mengalihkan pandangannya apalagi melontarkan sepatah kata. “Rubah itu tidak pernah peduli seberapa banyak mawar yang ada di ladang dan kamu terlalu indah untuk disebut sebagai mawar yang layu. Kamu, Pangeran Kecil, yang selalu ditunggu oleh rubah.”

Masih belum sembuh dari rasa terkejutnya, kepala Theo terasa pusing ketika Ia berusaha mencerna kalimat demi kalimat yang dilontarkan oleh Akk. Lelaki itu, tatapannya, suaranya, entah sudah berapa banyak kisah romansa yang Theo baca sehingga Ia berhalusinasi jika lelaki itu mungkin merasakan hal yang sama. Detak jantung yang sangat berisik ini, bukan hanya milik Theo, kan?

Akk mendekatkan wajahnya, membuat hidung mereka saling bersentuhan dan berbisik lirih. “Kamu tidak pernah kalah dari apapun. Sinar matahari itu menang untuk sekali, ayo buat skornya menjadi seri.”

Dunia Theo seolah berhenti berputar ketika Akk sedikit memiringkan wajahnya dan kedua bilah bibir mereka saling bersentuhan. Theo mencengkram lengan bajunya sendiri. Lututnya mendadak lemas ketika bibir keduanya bergerak dengan harmoni, saling mengecup lembut. Melodi romansa yang Theo suka mendadak berputar di dalam kepalanya. Ribuan kupu-kupu seolah berlomba ingin keluar dari perutnya. Kembang api seolah meledak di dalam dadanya, memacu jantungnya untuk berdetak lebih kuat. Aneh, tetapi menyenangkan.

Theo merasakan satu gigitan lembut pada bibir bagian bawahnya sebelum ada jarak yang tercipta antara wajahnya dan wajah Akk. Rona merah memenuhi wajah Theo, menjalar hingga ke telinga ketika lelaki itu tersenyum dan menjulurkan tangannya untuk mengusap sudut bibir Theo dengan lembut.

“Theo punyaku.”