Selcouth: Prolog
Apakah kalian percaya dengan takdir?
Sebagian orang mempercayainya sebagai sesuatu yang senantiasa menyertai tiap insan sejak mereka terlahir ke dunia. Segala hal yang terjadi, baik atau buruk, semuanya telah tertulis dalam sebuah buku imajiner milik mereka. Entah siapa yang menulisnya, mungkin Sang Pencipta dengan persetujuan diri mereka sendiri di kehidupan sebelumnya.
Dari sekian banyak insan yang mempercayai dengan adanya takdir, tidak dapat dipungkiri bahwa banyak pula yang tidak mempercayainya. Mereka berpendapat jika jalan hidup tiap insan tergantung atas apa yang mereka inginkan dan rencanakan sendiri, secara sadar dan nyata.
Setidaknya begitulah yang selama ini berada di dalam pikiran seorang Force Jiratchapong. Hidupnya berjalan sesuai apa yang Ia inginkan. Selalu berhasil masuk ke sekolah dan universitas impiannya, dikelilingi oleh keluarga dan teman yang suportif, serta mampu membeli mobil pribadi dengan uang tabungan sendiri—sedikit dibantu oleh ayah.
Namun, ketidakpercayaannya terhadap takdir sirna begitu saja ketika hidupnya tiba-tiba berubah menjadi sebuah kisah romansa picisan yang biasa ibunya tonton di malam hari. Force ingat beberapa minggu yang lalu ibunya menonton sebuah kisah tentang dua rival yang dijodohkan dan mereka harus menjalani kehidupan layaknya pasangan pada umumnya, walaupun pada kenyataannya mereka saling membenci.
Force sempat tertawa diam-diam karena menurutnya hal itu sedikit tidak rasional. Takdir, takdir, takdir. Sepanjang film itu isinya tentang dua orang yang berbicara tentang takdir. Tidak disangka jika hari ini Ia harus menertawakan dirinya sendiri di hadapan cermin karena beberapa menit yang lalu, sang ayah berkata jika dirinya akan dijodohkan dengan anak tunggal salah satu koleganya.
Sialnya, anak tunggal salah satu kolega ayah itu merangkap sebagai rival abadinya sejak empat tahun yang lalu.