redtulips

Kala itu, rumah mereka sontak menjadi ramai. Bukan karena ada tamu yang datang melainkan sorakan dari Nata dan Nara yang diterima di sekolah yang sama. Salah satu sekolah menengah atas terbaik di kota tempat mereka tinggal.

Sesuai janji, Force langsung memesan tiket berlibur dan menginap di villa dekat pantai yang selama ini berada di urutan pertama daftar destinasi wisata impian kedua anaknya. Tanpa ragu membuat reservasi selama empat hari tiga malam sebagai bentuk apresiasi terhadap kerja keras Nata dan Nara.

Di hari pertama, semuanya berjalan sangat menyenangkan. Mengelilingi sekitar villa dan mengambil banyak potret keluarga kecil mereka serta pemandangan indah tempat itu. Book berkata jika lebih baik mereka bermain di sekitar pantai pada hari kedua supaya mereka tidak terlalu lelah.

Pada hari selanjutnya, Force mulai merasakan ada sesuatu yang aneh dengan Book. Suaminya itu banyak diam, bahkan tidak jarang pula Ia mendapati sang suami melamun. Wajahnya terlihat sedih.

Tentu saja Force merasa sangat khawatir. Pandangannya tidak dapat terlepas dari sang suami barang sedetikpun. Bahkan ketika mereka mulai menyisir sepanjang pantai. Force sempat berpikir jika Book sedang tidak enak badan, tetapi suaminya itu berkata jika dirinya baik-baik saja.

Force memutuskan untuk percaya dengan perkataan sang suami. Berpikir jika mungkin Book hanya kelelahan setelah perjalanan mereka yang cukup panjang ditambah Ia sempat lembur demi mendapatkan cuti lebih awal.

Namun, di hari selanjutnya, ekspresi sedih itu tidak kunjung pergi dari wajah Book. Ketika mereka berkunjung ke pulau seberang menggunakan perahu dan menjelajah desa wisata di sana, Force terus memerhatikan wajah suaminya yang kian sendu.

Lelaki itu memutar otaknya, berpikir bagaimana cara untuk mengajak sang suami berbicara tanpa membuat kedua anaknya ikut khawatir. Ketika Nata dan Nara mencoba untuk berenang di tepi pantai dengan dua orang penjaga profesional, Force mengajak Book untuk duduk di bawah pohon kelapa di tepi pantai.

“Sayang, kamu dari kemarin kayak gini, loh.” Lengannya melingkar di kedua bahu Book, sementara bahunya menjadi tempat bersandar kepala sang suami. “Cerita sama aku ya, mumpung anak-anak lagi pada main. Kamu kenapa?”

Book semakin mendekat ke dalam rengkuhan suaminya, menyamankan posisinya sebelum Ia mulai bersuara selagi sepasang matanya menatap ke arah depan. Ke arah kedua anaknya yang sedang tertawa dengan rumput laut di tangan mereka.

“Aku senang banget karena mereka bisa masuk sekolah impian mereka. Aku senang banget waktu kemarin mereka fitting seragam.” Jemarinya bermain di kemeja oranye sang suami. “Tapi, aku juga sedih. Kenapa mereka cepat banget besarnya, ya? Aku rasanya agak nggak rela. Aku belum siap lihat mereka makin besar, terus jauh dari aku. Aku masih mau peluk mereka sebelum tidur.”

Force tersenyum tipis, akhirnya mengerti penyebab dari kesedihan yang tiba-tiba singgah di hati dan pikiran suaminya. Akhirnya mengerti tentang alasan mengapa sang suami tampak tidak betah ketika mereka sedang fitting seragam Nata dan Nara tempo hari. Ternyata, suaminya itu merasa sedikit tidak rela untuk melihat kedua anaknya beranjak dewasa.

Maka, Ia eratkan pelukannya dan beri elusan lembut sebagai penenang pada punggung sang suami. Satu kecupan mendarat di pelipis sebelum Ia mulai berbicara untuk mengusir kesedihan yang singgah.

“Rasanya baru kemarin ya mereka pegang satu jari kamu dengan genggaman penuh dan sekarang mereka tingginya udah hampir melebihi kamu,” Force terkekeh pelan sementara tangannya tidak berhenti memberi elusan. “Sayang, aku ngerti perasaan kamu. Pasti nggak rela ya lihat mereka tiba-tiba udah besar kayak begini? They will be adults eventually and we definitely can't escape from this phase.”

Force dapat mendengar dengan jelas helaan nafas berat Book, tanda jika lelaki yang sedang berada di dalam pelukannya itu tengah menahan tangis.

But, no matter how big they will be, they will always be our little boys. Nata sama Nara tau kalau selamanya mereka tetap akan jadi anak kecil di mata kita. Bukan dalam artian kita akan selalu treat mereka kayak anak kecil, tapi rasa sayangnya. The love still remains the same. Mau tumbuh sedewasa apapun mereka, rasa sayang kita tetap sama dengan sewaktu mereka masih kecil dan nggak akan pernah berubah.”

Pelukan keduanya semakin mengerat satu sama lain.

“Jadi, jangan khawatir dan terlalu dipikirin, ya? Kamu harus percaya kalau mereka juga akan selalu sayang sama kamu sampai kapanpun. Aku sayang sama kamu. Nata dan Nara sayang sama kamu. Kamu nggak akan pernah sendirian, sayang.”

Book nyaris terlonjak dari tempat tidur Nata ketika melihat jam di meja nakas anak sulungnya itu menunjukkan pukul tujuh, nyaris panik ketika tidak mendapati si sulung di sebelahnya. Kemudian Ia menyadari jika hari ini sudah memasuki akhir pekan.

Tanpa berpikir dua kali, Ia segera melangkah keluar dan mendapati suasana rumah yang begitu sepi. Tidak ada suara keributan dua anaknya yang berebut channel televisi atau suara dentingan piring dan sendok dari ruang makan.

Apakah Nata ada di kamar Nara?

Lelaki dewasa itu justru melangkahkan sepasang kakinya ke arah ruang tengah, matanya masih setengah terpejam karena masih mengantuk. Baru saja tiga langkah, Ia menabrak seseorang di depannya. Book mengaduh karena dahinya terantuk cukup keras dengan bahu sosok itu.

“Aduh, sayang. Maaf maaf, sakit ya?”

Tiba-tiba rasa kantuknya hilang ketika Ia mendengar suara lembut sang suami lengkap dengan usapan lembut di dahinya.

Book lekas mengusap matanya dengan punggung tangan sebelum memalingkan wajahnya dan berdeham pelan. “I-iya, nggak apa-apa. Akunya aja tadi yang nggak hati-hati.”

Kemudian hening. Baik Force maupun Book, keduanya sibuk hanyut dalam pikiran masing-masing. Merutuki diri sendiri dalam hati karena teringat akan pertengkaran mereka kemarin yang mengejutkan kedua buah hati mereka.

Oh, Nata dan Nara!

“Lihat kakak sama adek, nggak?” Tanya Book seraya menggerakkan sepasang bola matanya kesana kemari, berusaha mencari eksistensi kedua anaknya di penjuru rumah.

Force menggelengkan kepalanya sebelum ikut celingukan. “Nggak, aku baru bangun. Kaget udah jam segini, tapi nggak ada suara Nata sama Nara rebutan remote. Di kamar Nara ada, nggak?”

Book mengangkat kedua bahunya sebelum memberanikan diri untuk menggenggam tangan sang suami, kemudian menariknya untuk menjauh dari ruang tengah. “Mungkin, main sama Paofeii di belakang. Kita cari, yuk?”

Dua pasang kaki itu melangkah dengan perlahan, diam-diam menikmati kehangatan yang tercipta hanya karena tangan mereka yang saling menggenggam satu sama lain. Baru dua malam mereka tidak berbagi peluk di atas ranjang, tetapi rasanya seperti dua tahun. Sibuk menyesali pertengkaran sebab salah paham yang tercipta, saling melepas rindu dalam diam.

Langkah keduanya terhenti ketika mereka memasuki ruang makan. Mendapati meja makan yang tersusun dengan rapi, dua piring nasi hangat dan ayam kecap yang dimasak Book bersama Nata kemarin lengkap dengan dua gelas minuman segar.

Sepasang suami itu saling bertatapan, mencoba untuk menerka-nerka apa yang dilakukan oleh kedua anaknya ketika mereka tertidur dengan lelap. Tanpa mengeluarkan suara, mereka melangkah mendekat ke arah meja makan dan menyadari jika di tengah-tengah meja ada selembar kertas dengan tulisan yang sangat mereka kenal.

Force meraih kertas di atas meja itu, membacanya bersama dengan Book. Senyumnya mengembang ketika membaca rentetan kalimat yang ditulis oleh kedua anaknya sebelum Ia sedikit terbelalak karena mendengar isakan sang suami.

Tanpa berpikir dua kali, lekas Ia meraih tubuh lelaki yang Ia cintai itu ke dalam pelukan. Membuang semua kemarahan dan egonya, Force menghujani pucuk kepala Book dengan kecupan.

“Sarapan dulu, yuk? Anak-anak pasti bangunnya pagi banget buat siapin sarapan. Sekalian nunggu mereka pulang, terus nanti kita piknik, ya.”

Force tersenyum seraya mengangkat dagu suaminya, menyeka air mata yang membasahi wajah itu sebelum Ia mendekatkan wajahnya dan mendaratkan kecupan di bibir sang suami.

“Aku sayang kamu.”

Ternyata benar apa yang Nara katakan beberapa menit lalu via pesan. Setelah pikiran dan batin Nata berdebat tentang apakah Ia harus bertanya pada papi, lima menit kemudian papi berbalik dan membuka suara.

Papi duduk bersandar di kepala kasur sementara Nata merebahkan kepalanya di atas pangkuan papi, membiarkan lelaki dewasa itu mengusap helaian rambutnya dengan penuh kasih sayang.

“Kakak, papi minta maaf ya tadi kakak nggak jadi makan dan bikin kakak takut.” Ucap papi, suaranya terdengar sedih dan Nata benci hal itu. Nata tidak suka jika papi bersedih seperti ini.

Tidak dapat dipungkiri jika Nata memang takut dan diliputi oleh rasa khawatir. Namun, perkataan Nara membuatnya tersadar jika hal seperti ini setidaknya pasti akan terjadi satu kali seumur hidup dan kedua orang tuanya sebagai orang dewasa mampu menyelesaikan masalah mereka sendiri.

Nata mengangguk pelan kemudian meraih pergelangan tangan papi, memindahkannya ke sisi wajahnya, dan membiarkan papi untuk mengelus pipinya.

“Nggak apa-apa, papi. Nata ngerti, kok.” Nata sedikit bergeser dari posisinya untuk menatap papi. “Papi sama papa kenapa berantem? Nata sama Nara nakal ya?”

Papi lekas menggelengkan kepalanya untuk menyangkal pertanyaan Nata sembari tangannya tidak berhenti memberi elusan di pipi supaya anak sulungnya itu merasa tenang.

“Enggak, kakak. Ini bukan karena kakak sama adek. Jangan mikir begitu, ya?” Ucap papi, tatapannya sendu. Nata merasa sedikit menyesal karena bertanya seperti itu. “Papi sama papa lagi sama-sama capek tentang kerjaan. Lagi sama-sama egois dan nggak mau kalah, jadinya salah paham begini.”

Kini gantian Nata yang memberi elusan sebagai penenang pada punggung tangan papi. Tidak membuka mulutnya untuk mengeluarkan suara, membiarkan papi menyelesaikan ceritanya.

Awalnya, papi ragu untuk bercerita karena takut jika anaknya semakin khawatir. Namun, Ia pun berpikir jika anaknya berhak tahu tentang apa yang terjadi di antara mereka berdua.

“Kemarin penerbit majalah tempat papi kerja lagi ada masalah di bagian atas, ada miskoordinasi dan bikin papi harus kerja dua kali, tapi nggak ada kompensasi. Makanya, papi jadi agak stress.” Kata papi, pandangannya menerawang ke depan. “Di saat yang sama, papa juga lagi ada masalah di kantor. Katanya papa mau dimutasi ke luar kota, kemarin malam papi nemu surat mutasinya dan udah semingguan, tapi papa nggak cerita. Jadinya, papi marah karena merasa papa nggak mau jujur dan papa juga marah karena papi nggak mau dengar penjelasan dia.”

Nata mengerjab, ternyata masalah orang dewasa memang serumit itu. Tidak hanya sekadar berebut potongan roti yang paling besar atau berebut channel televisi seperti yang dilakukan Nata dan Nara.

“Terus papa jadinya pindah, ya?”

Papi menggeleng dan tertawa pelan. “Ternyata ya ada kesalahan juga dari pusat. Yang harusnya dimutasi itu teman papa, dia memang minta pindah karena lebih dekat dengan keluarganya di sana. Nggak tau kenapa malah salah input nama papa. Papi baru tau ini tadi, jadi nyesel karena udah kebawa emosi.”

Akhirnya, Nata mengerti sekarang. Benar apa yang dikatakan Nara. Semua ini berawalan dari salah paham dan ego dua orang dewasa yang sulit untuk diturunkan. Permasalahan papa dan papi tidak jauh dari pekerjaan.

“Kakak jangan kayak papi, ya? Kalau ada apa-apa, pokoknya kakak harus tanya dan tunggu penjelasan dari orang itu.”

Si sulung buru-buru menegakkan tubuhnya ketika mendengar papi berkata seperti itu, kemudian merengek. “Papi kenapa ngomongnya begitu, sih?!”

Papi hanya tertawa, kali ini benar-benar tertawa dan membuat Nata menjadi lebih lega.

“Nata rasa hal kayak gini tuh wajar, papi. Manusiawi. Nata ngerti posisi papa yang bingung karena dapat pemberitahuan tiba-tiba begitu, tapi Nata juga ngerti gimana perasaan papi yang tiba-tiba nemu surat mutasi setelah satu minggu papa nggak bilang apapun.”

Nata tersenyum kecil sebelum memainkan jemari papi yang tengah Ia genggam dengan erat.

“Papi pasti capek ya kerja dua kali dan nggak dapat bayaran yang setimpal? Kalau Nata pasti udah marah-marah, tapi kenapa papi bisa sabar begini, sih. Lain kali cerita sama Nata dan Nara, ya? Walaupun kita nggak bisa bantu kerjaan papi, tapi kita bisa bantu pijat pundak papi biar pegalnya hilang.” Nata kembali merebahkan tubuhnya di atas kasur, memeluk pinggang papi dari samping. “Kalau papa capek, Nata sama Nara bisa bantu cuci mobil dan bersih-bersih taman sama kolam ikan. Kalau papi capek, Nata sama Nara bisa bantu masak sama beres-beres rumah. Kalau Nata sama Nara nakal juga nggak apa-apa dimarahin. Asal jangan kayak kemarin ya, pi? Ayam kecapnya jadi nganggur di kulkas.”

Mendengar perkataan panjang lebar dari si sulung membuat air mata papi turun membasahi wajahnya. Namun, Ia tetap tertawa dan berusaha supaya anaknya itu tidak menyadari jika dirinya tengah menangis. Membiarkan Nata tetap membenamkan wajah di pinggangnya.

“Kakak sama adek nggak pernah bikin papi sama papa marah, kok. Kakak sama adek selalu bikin papi sama papa senang. Besok kita hangatin ayam kecapnya dan makan bareng lagi, ya?”

Papi menghapus jejak air matanya sebelum turut merebahkan tubuhnya di sebelah si sulung. Membawa anaknya itu ke dalam pelukan dan memberi tepukan lembut di sisi pinggul Nata.

“Jadi inget dulu waktu kakak kecil, nggak bisa tidur kalau belum papi tepukin pantatnya.” Ucap papi dengan jahil, mengundang rengekan protes dari Nata.

Tepat pada pukul sepuluh malam, papi tertidur lelap sembari memeluk Nata setelah anak itu mengoceh tentang banyak hal. Nata tersenyum sebelum mengeratkan pelukannya dengan papi.

Jika waktu bisa diputar, Nata tetap ingin hadir dan menghabiskan waktunya sebagai bagian dalam keluarga kecil ini. Bahkan jika kehidupan lain itu benar-benar nyata, Nata berharap jika di dunia itu, Nata tetap menghabiskan waktunya dengan papa, papi, dan Nara.

Ternyata, selain flu dan batuk, asumsi buruk juga dapat menular walaupun hanya melalui pesan di layar ponsel. Nara yang awalnya hanya lelah karena latihan basket, kini merasa pusing karena memikirkan perkataan Nata.

Ditambah lagi, atmosfer di dalam mobil papa terasa beda. Nara tahu jika dua hari yang lalu papa baru saja membetulkan pendingin mobil, tetapi Nara tidak pernah berpikir jika suasananya akan sedingin ini.

Biasanya, papa sering menggoda Nara dan anak bungsunya itu akan menggerutu, mengancam akan mengadukannya ke papi. Namun, hari ini papa tampak hanyut dalam pikirannya sendiri.

Nara berdeham sesaat sebelum pura-pura sibuk mengibaskan baju basket yang dipakainya. “Keringetan banget nih, pa. Bau nggak, sih? Mobilnya habis dicuci ya kemarin?”

Papa terkekeh pelan sebelum mengangguk, pandangannya tetap lurus ke depan ke arah jalanan. “Iya, kemarin habis dicuci. Tapi, nggak apa-apa. Namanya juga habis olahraga pasti bau keringat.”

Setelahnya hening lagi. Nara merutuki dirinya sendiri di dalam hati kenapa Ia sulit sekali untuk membuka pembicaraan. Sifatnya yang satu ini persis sekali dengan sifat papi. Keduanya lebih pintar memosisikan diri sebagai pendengar, sementara papa dan Nara selalu mengambil posisi sebagai sosok yang punya segudang topik pembicaraan.

Akan tetapi, jika sosok yang punya peran itu sekarang hanya diam dan hanyut dalam pikirannya sendiri, apa yang harus Nara lakukan?

“Pa, udah makan?”

Hanya pertanyaan itu yang terlintas di dalam kepala Nara. Papa menggeleng sebelum senyuman lebar serupa rubah akhirnya mampir di wajah lelaki itu. Nara merasa lega. Akhirnya, papa tersenyum seperti itu lagi.

“Belum. McDonald's, yuk?”

Nara mengangguk dengan semangat.

Ternyata memang ada yang tidak beres dan Nata tidak tahu apa yang sedang terjadi. Tadinya Nata hanya membuat asumsi dan mencoba menepisnya, tetapi keheningan yang tercipta di dalam mobil papi membuat Nata semakin yakin jika ada sesuatu yang salah.

Sepuluh menit yang lalu, ketika Nata masuk ke dalam mobil, Ia telah mengoceh panjang lebar dan anehnya, papi hanya tertawa sesaat kemudian kembali fokus berkendara.

Mungkin, papi lelah. Namun, papi tidak pernah diam seribu bahasa seperti ini sebelumnya. Nata jadi sungkan untuk terus bercerita apalagi bertanya pada papi. Bahkan, ketika mereka berhenti di lampu merah pun, papi lebih memilih untuk melamun daripada berbicara dengan anak sulungnya sampai mobil di belakang mereka membunyikan klakson karena papi hanyut dalam pikirannya sendiri.

“Papi udah makan?”

Akhirnya, Nata memberanikan diri untuk membuka suara setelah hampir lima belas menit mereka dinaungi oleh keheningan. Helaan nafas lega terdengar dengan sangat jelas dari Nata ketika papi sedikit menoleh ke arahnya seraya tersenyum.

Setidaknya, Nata bukan alasan papi marah atau apapun itu.

“Belum, sayang.” Sahut papi seraya mengangkat tangan kirinya untuk mengelus pucuk kepala Nata sebelum kembali meletakkannya di atas kemudi. “Nata mau makan apa? Kita masak bareng, yuk!”

Sepasang mata Nata berbinar, Ia segera menegakkan posisi duduknya dan mengangguk dengan antusias. “Mau! Kita masak ayam kecap yuk, papi?”

Papi menganggukkan kepalanya, menyetujui permintaan Nata. Hal sederhana ini sukses membuat Nata bahagia, rasanya seperti Ia dapat meloncat keluar angkasa karena setidaknya, sekarang Ia dan papi mulai bersahut-sahutan membicarakan banyak hal setelah mereka terjebak di dalam keheningan.

Semoga papi akan selalu tersenyum seperti ini.

Setelah menyantap lima sendok bubur dan menelan satu tablet obat penurun panas, akhirnya Nata tertidur di pelukan papi. Tubuhnya dibalut dengan piyama hangat dan selimut tebal sementara satu plester penurun panas menempel di dahinya.

Papa menghela napas dengan sedikit lega, lalu menyentuh pipi Nata yang masih terasa panas. Setidaknya, tidak sepanas ketika Nara menemukannya tergeletak lemas di ruang tengah.

“Kakak kenapa ya, kok tiba-tiba sakit?” Gumam papi, suaranya terdengar sedih dan jemarinya sibuk menari-nari di surai hitam si sulung.

Setelah kedatangan papa dan papi, kepanikan Nara sedikit menghilang. Ia duduk di pinggiran kasur Nata, tepat di sebelah papi. “Kayaknya karena waktu itu dia kena gerimis terus nggak langsung keramas, pi. Dulu pernah gini juga, kan? Tapi, yang ini panas banget.”

Papi mengangguk setuju kemudian mengeratkan pelukannya pada si sulung. “Emang ngeyel banget kakak kamu kalau dibilangin.” Satu kecupan dari papi mendarat di pucuk kepala yang tengah jatuh sakit.

Papa tertawa pelan ketika Ia melihat ekspresi si bungsu yang berubah, bibirnya maju satu senti ketika melihat sang papi mengecup kepala kakaknya. “Sayang, lihat tuh. Ada yang cemburu.” Ucap papa seraya mengangkat dagunya, memberikan isyarat menunjuk ke arah Nara.

Papi sontak menoleh ke arah Nara dan terkekeh sebelum memindahkan satu lengannya, menarik si bungsu ke dalam dekapan. “Lengan papi masih cukup kok buat peluk Nata sama Nara barengan.”

Perlahan, sebuah senyuman merekah di wajah Nara. Ia membalas pelukan papi dengan erat. Jika saja Nata tidak jatuh terlelap, Nara tidak akan bersikap manja seperti ini. Mungkin, gengsi. Nara terlalu sering menunjukkan sikap acuh tak acuh di depan kakaknya, padahal sikap manjanya tidak jauh berbeda.

Papi yang sudah hafal di luar kepala tentang sifat kedua anaknya hanya tersenyum, menahan tawa. Nata dasarnya memang manja dan sikap manjanya semakin bertambah jika Ia sedang sakit. Sementara Nara selalu ikut 'tertular' sikap manja Nata yang sedang sakit.

“Adek sudah makan?”

Nara mengangguk untuk menjawab pertanyaan papi. “Tadi pas basket udah makan sama teman. Nara bawa siomay buat Nata, tapi Nata sakit jadi nggak mau makan. Nara taruh di kulkas kalau papa atau papi mau makan, dihangatin dulu.”

Papa yang sedari tadi hanya memerhatikan suami dan anak-anaknya kini bergeser lebih dekat untuk mengusap helaian rambut Nara sebelum mendaratkan satu kecupan di pelipis Nata.

“Kalau Nata udah sembuh, kita jalan-jalan ya. Kerjaan papa udah selesai semua.” Ucap lelaki dewasa dengan mata serupa rubah itu sebelum memindahkan tangannya untuk menutup mata Nara dan mendaratkan kecupan di atas bibir papi.

Nara merengek pelan, tidak mengerti mengapa papa tiba-tiba menutup matanya sementara papi hanya membulatkan matanya dan tertawa pelan.

Tanpa mereka sadari, sejak tadi Nata diam-diam sedikit membuka kelopak matanya yang terasa berat dan berusaha menahan tawanya. Nata sayang, sangat sayang, dengan papa, papi, dan Nara.

“Nata, gue pulang!”

Nara berseru seraya menekan bel ketika sepasang kakinya telah menjejak di depan pintu rumah. Ia perlahan melepas sepatunya sebelum kembali menekan bel karena Nata tidak kunjung membukakan pintu.

“Lagi mandi apa, ya?” Gumam Nara seraya mencoba untuk mengetuk pintu. Bukannya mendapati sang kakak yang membuka pintu, Ia justru mendapati jika pintu depan tidak terkunci.

Anak lelaki dengan pakaian pakaian basket itu mengerutkan keningnya sebelum melangkah ke dalam rumah dengan was-was. Suasana di dalam rumah sangat hening, Nara hanya mendengar suara jarum jam dan sayup-sayup suara kecipak air kolam di halaman belakang.

“Nata, hey! Gue bawa siomay, nih.”

Nara melangkah semakin ke dalam dan tetap bersuara untuk memecah keheningan. Aneh. Rasanya aneh. Tidak ada suara Nata dan pintu tidak dikunci. Rasanya, Nata tidak pernah seceroboh itu untuk meninggalkan pintu depan rumah mereka tidak terkunci.

Si bungsu itu sudah lebih dari siap untuk melempar bungkusan siomay di tangannya apabila hal buruk yang melintas di pikirannya betulan terjadi.

Namun, hal selanjutnya yang didapati justru membuatnya nyaris berteriak. Ketika langkahnya mencapai ruang tengah, Nara melihat Nata yang sedang meringkuk di atas karpet tebal. Wajahnya pucat dan tubuhnya tampak menggigil.

“Nata!”

Nara lekas menaruh bungkusan siomay yang dibelinya di atas meja dan menghampiri Nata, kemudian Ia terkejut ketika menyentuh badan kakaknya yang panas. Kakaknya itu bergumam pelan, tidak jelas apa yang dikatakannya, tetapi Nara sekilas dapat menangkap jika Nata sedang merasa pusing luar biasa.

Nara panik setengah mati.

“Nat?”

“HAH?!”

Nara melempar handuknya ke arah Nata yang menjawab panggilannya dengan teriakan dan menatap kakaknya itu dengan pandangan kesal sekaligus bingung.

“Lo kenapa kaget begitu, deh?” Tanyanya seraya berjalan ke arah Nata yang tengah mengusap tengkuknya sendiri. Nara mengambil kembali handuknya yang tadi Ia lempar ke arah Nata. “Papa sama papi mana?”

“A-anu, itu. Kemana, ya? Kayaknya mau cari jas buat acara kantor papa.” Nata menjawab dengan terbata-bata, sedikit menyesal mengapa Ia harus diam-diam membalas pesan Archen lewat ponsel Nara.

Nara mengangkat sebelah alisnya ketika merasa Nata bersikap aneh, tetapi Ia sedang tidak bersemangat untuk memulai debat kusir dengan kakaknya.

“Eh, gue lupa! Handphone gue tadi ketinggalan di belakang.”

Nata nyaris melonjak ketika mendengar perkataan Nara. Ia segera menunjuk ke arah meja televisi, tempat dimana dirinya menaruh ponsel milik sang adik. “Itu, itu! Kayaknya mau hujan makanya gue bawa masuk. Hehe.”

“Oh, oke. Makasih, Nat.”

Nara segera berjalan ke arah televisi sementara Nata sedikit berlari dan masuk ke dalam kamarnya. Pintunya sedikit terbanting dan Nara dapat mendengar kakaknya itu mengunci pintu, suaranya sedikit nyaring.

Kakaknya itu kenapa, sih?

Agenda hari ini adalah berbelanja dan makan malam di luar bersama papi. Nata telah memonopoli kursi penumpang bagian depan di sebelah papi sementara Nara, tanpa banyak suara, duduk di belakang.

“Papi, nanti kita makan apa?” Tanya Nata seraya menoleh ke arah lelaki yang tengah menyetir.

Papinya itu tertawa pelan, membuat kontak mata dengan anaknya untuk sesaat sebelum Ia kembali fokus ke arah jalan. “Apa, ya? Kakak sama adek mau apa? Mau coba all you can eat yang baru itu, nggak? Katanya di sana ada sushi juga.”

Nata mengangguk dengan semangat seraya tersenyum lebar, menyetujui tawaran papi. Sebenarnya, mau dimanapun mereka makan, Nata akan tetap senang karena Ia akan makan bersama papi kesayangannya.

“Pi, ini kita mau belanja bulanan?” Tanya Nara tiba-tiba seraya mencondongkan tubuhnya ke arah depan melalui sela-sela kursi pengendara dan penumpang depan.

“Nggak, adek.” Sahut papinya sebelum menginjak rem, berhenti di lampu merah. “Beli camilan aja kalau kalian mau. Papi cuma mau nyari yoghurt.”

Nara bergumam pelan, tanda mengerti dengan jawaban papi sebelum sepasang matanya memindai kursi penumpang yang diduduki kakaknya. Dahinya mengernyit ketika Ia menyadari sesuatu.

“Nat, lo pakai baju gue, ya?”

Nata yang tadinya sibuk memandangi jalan setelah lampu hijau menyala langsung menoleh ke arah samping, kemudian menatap ke arah kemeja yang dikenakannya.

“Kirain ini baju papi, pantes besar banget.” Ucapnya sebelum menyilangkan sepasang tangan di depan dada. “Lo tuh emang kenapa, sih. Gue cuman pinjam masa nggak boleh?!”

“Emangnya ada gue bilang nggak boleh? Gue kan cuman tanya. Sensi banget.” Cibir Nara seraya memundurkan tubuhnya dan duduk dengan rapi di tempatnya, sementara Nata menjulurkan lidahnya untuk mengejek sang adik.

Papi yang masih sibuk menyetir hanya tersenyum diam-diam melihat kedua anaknya yang tidak pernah tidak bertengkar walau seharipun, tetapi Ia tahu jika keduanya saling menyayangi satu sama lain sebagaimana dirinya sendiri menyayangi kedua anaknya.

“Archen siapa, sih? Temen sekelas lo, ya?”

Nara mengangguk sebagai jawaban, tidak mengeluarkan suara karena mulutnya tengah sibuk mengunyah chicken katsu buatan papi. Saat ini, mereka tengah berada di sudut kantin, menyantap bekal makanan yang mereka bawa dari rumah.

Sementara itu, Nata masih sibuk berpikir dan mengoceh, bekalnya sama sekali belum disentuh. “Kok gue gak pernah lihat, ya?”

“Lo gak pernah naruh perhatian ke sekeliling lo, sih,” sahut Nara setelah meneguk susunya. “Dia juga satu ekskul basket sama gue. Tahun kemarin dia kapten, masa lo gak tau sama temen seangkatan sendiri.”

Nata hanya mencibir ketika mendengar perkataan sarkastik Nara. Ceritanya merajuk, tetapi Ia melanjutkan ocehannya. “Gue gak punya banyak waktu buat hafal orang satu-satu. Gue tau kok mukanya, tapi gue baru tau kalau itu Archen.”

“Lo tiba-tiba kepo banget, naksir?”

“ENGGAK!” Nata memukul meja dan sedikit berteriak sebelum Ia menundukkan kepalanya ketika merasakan beberapa orang di kantin memusatkan perhatian mereka ke arahnya. “Maksud gue enggak lah. Penasaran aja soalnya kemarin dia reply di Twitter lo.”

Nara hanya mengangkat bahunya acuh tak acuh sebelum mendorong kotak bekal Nata ke arah kakaknya itu, menyuruhnya untuk lekas menyantap bekal sebelum bel selesai istirahat kedua berbunyi.

Tanpa disuruh dua kali, Nata segera melahap bekalnya dan berhenti melontarkan sejuta pertanyaan kepada adiknya.

“Hey, gue boleh duduk di sini?”

Nata nyaris tersedak karena terkejut tatkala Ia merasakan presensi seseorang di belakangnya lengkap dengan tepukan di pundak. Dengan sigap, Nara segera membukakan botol minum Nata dan menyerahkan botol itu kepada sang pemilik.

“Eh, sorry sorry!” Sosok yang berada di belakang Nata itu tampak khawatir. Ia menaruh nampan yang berisi sepiring nasi goreng dan segelas es teh di atas meja yang ditempati Nata dan Nara. “Maaf ya, gue bikin kaget. Sakit, nggak?”

Rasanya Nata ingin memarahi siapapun yang menghampiri meja mereka secara tiba-tiba dan membuatnya tersedak, tetapi semua emosinya seolah tertahan di tenggorokan ketika Ia berbalik dan mendapati sosok yang menjadi topik pembicaraannya dengan Nara sejak tadi.

“Enggak, kok. Enggak apa-apa. Duduk aja di sini.” Nata menjawab dengan suara pelan kemudian lekas menunduk dan melanjutkan makan siangnya yang sempat tertunda.

Tanpa perlu menoleh, Nata tahu jika Archen pasti tengah tersenyum. Teman sekelas Nara itu duduk di sebelahnya.

“Nata, ini nih Archen yang tadi lo tanyain.”

Nata rasanya ingin berteriak dan melemparkan kotak susu kosong ke arah Nara yang dengan santainya berbicara langsung di depan Archen, secara tidak langsung memberitahu temannya itu jika dia telah menjadi topik pembicaraan mereka sejak tadi.

Sepasang matanya melotot ke arah Nara, tetapi yang menjadi tersangka pura-pura tidak melihat. Nata kesal setengah mati, ingatkan dia untuk mengadu pada papi sepulang sekolah.

“Hai, Nata! Kakaknya Nara, kan?” Archen sedikit memutar tubuhnya ke arah samping untuk menatap Nata yang kini dengan susah payah mengunyah bekalnya.

Archan hanya mendapatkan anggukan sebagai jawaban karena Nata (sengaja) menyibukkan diri dengan melahap bekalnya. Rasanya sedikit canggung. Nata jarang sekali berinteraksi dengan orang-orang baru dan menurutnya Archen sebelas duabelas dengan adiknya alias ramah dan mudah mengakrabkan diri.

“Gue sering banget lihat lo sama Nara, pengen temenan, tapi gak sempat mulu.” Ucap Archen seraya terkekeh pelan. “Maaf ya kalau sokap.”

Detik itu, Nata merasa tidak enak karena Ia berpikir jika dirinya terlalu memberikan jarak pada orang yang hanya ingin berkenalan dan berteman dengannya. Maka, Nata buru-buru menggeleng dan menepuk pelan lengan atas Archen.

“Enggak apa-apa! Thank you for reaching me out first.” Nata berusaha seramah mungkin dan hal itu menarik perhatian Nara yang kini mengangkat sebelah alisnya, berusaha menyembunyikan senyum jahil. “Salam kenal ya, Archen!”

Teman sekelas Nara itu sontak melebarkan senyumnya ketika melihat Nata menerima ajakan pertemanannya dengan senang hati. “Salam kenal juga, kakaknya Nara.”

Nata berdeham sesaat sebelum Ia beranjak dari duduknya. “Oh iya, gue mau beli minuman dulu bentar ya sama camilan. Tunggu di sini, ya.” Setelahnya, Nata menatap Nara dan melemparkan tatapan sengit kepada adiknya itu yang lagi-lagi memasang wajah tak berdosa. “Lo jagain kotak bekal gue.”

Dengan cepat, Nata melangkah meninggalkan meja yang mereka tempati di sudut kantin untuk membeli minuman dan camilan seperti apa yang telah Ia katakan kepada Archen dan Nara.

Sementara itu, di tempat duduk tadi, Nara menopang dagunya seraya menatap Archen yang tengah menyantap nasi gorengnya. Sepasang matanya memincing dan hal itu membuat Archen menghentikan kegiatannya sejenak.

“Apa?”

“Gue udah pernah bilang belum kalau sebelum deketin kakak gue, lo harus berhadapan sama gue dulu. You won't get a permission to get closer with him if I think you're not qualified enough.” Nara tidak melepaskan pandangannya dari Archen. “Kakak gue itu kesayangan papa sama papi, don't you dare to make him cry unless you want me to punch your face.

Archen bergidik ngeri, entah pura-pura atau betulan, kemudian terkekeh pelan dan mengangguk sebagai tanda mengerti. “Ya ya ya, gue akan berusaha dengan keras supaya bisa qualified enough to get closer with your lovely brother, don't worry.”

Dari jauh, Nata mengernyitkan dahinya ketika melihat Nara dan Archen yang tampak serius membicarakan sesuatu. Nata tidak kepo, hanya penuh dengan rasa ingin tahu!