LATIBULE : BAGIAN 9.1

Ternyata benar apa yang Nara katakan beberapa menit lalu via pesan. Setelah pikiran dan batin Nata berdebat tentang apakah Ia harus bertanya pada papi, lima menit kemudian papi berbalik dan membuka suara.

Papi duduk bersandar di kepala kasur sementara Nata merebahkan kepalanya di atas pangkuan papi, membiarkan lelaki dewasa itu mengusap helaian rambutnya dengan penuh kasih sayang.

“Kakak, papi minta maaf ya tadi kakak nggak jadi makan dan bikin kakak takut.” Ucap papi, suaranya terdengar sedih dan Nata benci hal itu. Nata tidak suka jika papi bersedih seperti ini.

Tidak dapat dipungkiri jika Nata memang takut dan diliputi oleh rasa khawatir. Namun, perkataan Nara membuatnya tersadar jika hal seperti ini setidaknya pasti akan terjadi satu kali seumur hidup dan kedua orang tuanya sebagai orang dewasa mampu menyelesaikan masalah mereka sendiri.

Nata mengangguk pelan kemudian meraih pergelangan tangan papi, memindahkannya ke sisi wajahnya, dan membiarkan papi untuk mengelus pipinya.

“Nggak apa-apa, papi. Nata ngerti, kok.” Nata sedikit bergeser dari posisinya untuk menatap papi. “Papi sama papa kenapa berantem? Nata sama Nara nakal ya?”

Papi lekas menggelengkan kepalanya untuk menyangkal pertanyaan Nata sembari tangannya tidak berhenti memberi elusan di pipi supaya anak sulungnya itu merasa tenang.

“Enggak, kakak. Ini bukan karena kakak sama adek. Jangan mikir begitu, ya?” Ucap papi, tatapannya sendu. Nata merasa sedikit menyesal karena bertanya seperti itu. “Papi sama papa lagi sama-sama capek tentang kerjaan. Lagi sama-sama egois dan nggak mau kalah, jadinya salah paham begini.”

Kini gantian Nata yang memberi elusan sebagai penenang pada punggung tangan papi. Tidak membuka mulutnya untuk mengeluarkan suara, membiarkan papi menyelesaikan ceritanya.

Awalnya, papi ragu untuk bercerita karena takut jika anaknya semakin khawatir. Namun, Ia pun berpikir jika anaknya berhak tahu tentang apa yang terjadi di antara mereka berdua.

“Kemarin penerbit majalah tempat papi kerja lagi ada masalah di bagian atas, ada miskoordinasi dan bikin papi harus kerja dua kali, tapi nggak ada kompensasi. Makanya, papi jadi agak stress.” Kata papi, pandangannya menerawang ke depan. “Di saat yang sama, papa juga lagi ada masalah di kantor. Katanya papa mau dimutasi ke luar kota, kemarin malam papi nemu surat mutasinya dan udah semingguan, tapi papa nggak cerita. Jadinya, papi marah karena merasa papa nggak mau jujur dan papa juga marah karena papi nggak mau dengar penjelasan dia.”

Nata mengerjab, ternyata masalah orang dewasa memang serumit itu. Tidak hanya sekadar berebut potongan roti yang paling besar atau berebut channel televisi seperti yang dilakukan Nata dan Nara.

“Terus papa jadinya pindah, ya?”

Papi menggeleng dan tertawa pelan. “Ternyata ya ada kesalahan juga dari pusat. Yang harusnya dimutasi itu teman papa, dia memang minta pindah karena lebih dekat dengan keluarganya di sana. Nggak tau kenapa malah salah input nama papa. Papi baru tau ini tadi, jadi nyesel karena udah kebawa emosi.”

Akhirnya, Nata mengerti sekarang. Benar apa yang dikatakan Nara. Semua ini berawalan dari salah paham dan ego dua orang dewasa yang sulit untuk diturunkan. Permasalahan papa dan papi tidak jauh dari pekerjaan.

“Kakak jangan kayak papi, ya? Kalau ada apa-apa, pokoknya kakak harus tanya dan tunggu penjelasan dari orang itu.”

Si sulung buru-buru menegakkan tubuhnya ketika mendengar papi berkata seperti itu, kemudian merengek. “Papi kenapa ngomongnya begitu, sih?!”

Papi hanya tertawa, kali ini benar-benar tertawa dan membuat Nata menjadi lebih lega.

“Nata rasa hal kayak gini tuh wajar, papi. Manusiawi. Nata ngerti posisi papa yang bingung karena dapat pemberitahuan tiba-tiba begitu, tapi Nata juga ngerti gimana perasaan papi yang tiba-tiba nemu surat mutasi setelah satu minggu papa nggak bilang apapun.”

Nata tersenyum kecil sebelum memainkan jemari papi yang tengah Ia genggam dengan erat.

“Papi pasti capek ya kerja dua kali dan nggak dapat bayaran yang setimpal? Kalau Nata pasti udah marah-marah, tapi kenapa papi bisa sabar begini, sih. Lain kali cerita sama Nata dan Nara, ya? Walaupun kita nggak bisa bantu kerjaan papi, tapi kita bisa bantu pijat pundak papi biar pegalnya hilang.” Nata kembali merebahkan tubuhnya di atas kasur, memeluk pinggang papi dari samping. “Kalau papa capek, Nata sama Nara bisa bantu cuci mobil dan bersih-bersih taman sama kolam ikan. Kalau papi capek, Nata sama Nara bisa bantu masak sama beres-beres rumah. Kalau Nata sama Nara nakal juga nggak apa-apa dimarahin. Asal jangan kayak kemarin ya, pi? Ayam kecapnya jadi nganggur di kulkas.”

Mendengar perkataan panjang lebar dari si sulung membuat air mata papi turun membasahi wajahnya. Namun, Ia tetap tertawa dan berusaha supaya anaknya itu tidak menyadari jika dirinya tengah menangis. Membiarkan Nata tetap membenamkan wajah di pinggangnya.

“Kakak sama adek nggak pernah bikin papi sama papa marah, kok. Kakak sama adek selalu bikin papi sama papa senang. Besok kita hangatin ayam kecapnya dan makan bareng lagi, ya?”

Papi menghapus jejak air matanya sebelum turut merebahkan tubuhnya di sebelah si sulung. Membawa anaknya itu ke dalam pelukan dan memberi tepukan lembut di sisi pinggul Nata.

“Jadi inget dulu waktu kakak kecil, nggak bisa tidur kalau belum papi tepukin pantatnya.” Ucap papi dengan jahil, mengundang rengekan protes dari Nata.

Tepat pada pukul sepuluh malam, papi tertidur lelap sembari memeluk Nata setelah anak itu mengoceh tentang banyak hal. Nata tersenyum sebelum mengeratkan pelukannya dengan papi.

Jika waktu bisa diputar, Nata tetap ingin hadir dan menghabiskan waktunya sebagai bagian dalam keluarga kecil ini. Bahkan jika kehidupan lain itu benar-benar nyata, Nata berharap jika di dunia itu, Nata tetap menghabiskan waktunya dengan papa, papi, dan Nara.