LATIBULE : BAGIAN 6.2

Setelah menyantap lima sendok bubur dan menelan satu tablet obat penurun panas, akhirnya Nata tertidur di pelukan papi. Tubuhnya dibalut dengan piyama hangat dan selimut tebal sementara satu plester penurun panas menempel di dahinya.

Papa menghela napas dengan sedikit lega, lalu menyentuh pipi Nata yang masih terasa panas. Setidaknya, tidak sepanas ketika Nara menemukannya tergeletak lemas di ruang tengah.

“Kakak kenapa ya, kok tiba-tiba sakit?” Gumam papi, suaranya terdengar sedih dan jemarinya sibuk menari-nari di surai hitam si sulung.

Setelah kedatangan papa dan papi, kepanikan Nara sedikit menghilang. Ia duduk di pinggiran kasur Nata, tepat di sebelah papi. “Kayaknya karena waktu itu dia kena gerimis terus nggak langsung keramas, pi. Dulu pernah gini juga, kan? Tapi, yang ini panas banget.”

Papi mengangguk setuju kemudian mengeratkan pelukannya pada si sulung. “Emang ngeyel banget kakak kamu kalau dibilangin.” Satu kecupan dari papi mendarat di pucuk kepala yang tengah jatuh sakit.

Papa tertawa pelan ketika Ia melihat ekspresi si bungsu yang berubah, bibirnya maju satu senti ketika melihat sang papi mengecup kepala kakaknya. “Sayang, lihat tuh. Ada yang cemburu.” Ucap papa seraya mengangkat dagunya, memberikan isyarat menunjuk ke arah Nara.

Papi sontak menoleh ke arah Nara dan terkekeh sebelum memindahkan satu lengannya, menarik si bungsu ke dalam dekapan. “Lengan papi masih cukup kok buat peluk Nata sama Nara barengan.”

Perlahan, sebuah senyuman merekah di wajah Nara. Ia membalas pelukan papi dengan erat. Jika saja Nata tidak jatuh terlelap, Nara tidak akan bersikap manja seperti ini. Mungkin, gengsi. Nara terlalu sering menunjukkan sikap acuh tak acuh di depan kakaknya, padahal sikap manjanya tidak jauh berbeda.

Papi yang sudah hafal di luar kepala tentang sifat kedua anaknya hanya tersenyum, menahan tawa. Nata dasarnya memang manja dan sikap manjanya semakin bertambah jika Ia sedang sakit. Sementara Nara selalu ikut 'tertular' sikap manja Nata yang sedang sakit.

“Adek sudah makan?”

Nara mengangguk untuk menjawab pertanyaan papi. “Tadi pas basket udah makan sama teman. Nara bawa siomay buat Nata, tapi Nata sakit jadi nggak mau makan. Nara taruh di kulkas kalau papa atau papi mau makan, dihangatin dulu.”

Papa yang sedari tadi hanya memerhatikan suami dan anak-anaknya kini bergeser lebih dekat untuk mengusap helaian rambut Nara sebelum mendaratkan satu kecupan di pelipis Nata.

“Kalau Nata udah sembuh, kita jalan-jalan ya. Kerjaan papa udah selesai semua.” Ucap lelaki dewasa dengan mata serupa rubah itu sebelum memindahkan tangannya untuk menutup mata Nara dan mendaratkan kecupan di atas bibir papi.

Nara merengek pelan, tidak mengerti mengapa papa tiba-tiba menutup matanya sementara papi hanya membulatkan matanya dan tertawa pelan.

Tanpa mereka sadari, sejak tadi Nata diam-diam sedikit membuka kelopak matanya yang terasa berat dan berusaha menahan tawanya. Nata sayang, sangat sayang, dengan papa, papi, dan Nara.