redtulips

Jika ditanya apa kebahagiaan terbesar seorang Nata, tanpa pikir panjang Ia pasti akan menjawab berada di dalam rumah nomor 34 bersama papa, papi, dan Nara. Oh, tidak lupa Paofeii si kucing kesayangan mereka dan ikan-ikan yang berada di kolam belakang rumah.

Nata merupakan anak sulung di keluarga ini, tetapi orang-orang sering mengira jika Ia adalah anak bungsu. Papa dan papi selalu memanjakannya dan Nata dengan senang hati menerimanya. Sementara Nara lebih mandiri dan selalu mengerang kesal ketika dipanggil adik (papi adalah pengecualian).

“Nata, Paofeii udah dikasih makan?!”

Itu suara papa. Sosok lelaki dewasa yang seringkali menomorsatukan kucing gendut bermata besar daripada kedua anaknya.

“Sudah, papa!” Nata sedikit berteriak karena saat ini Ia berada di dekat halaman belakang, bermain bersama Paofeii. Ia memajukan bibirnya sedikit, lalu mengelus kepala kucing itu. “Papa tuh selalu nanyain kamu udah makan belum, tapi aku gak ditanyain.”

Nata membuka bungkus cat treat secara perlahan sebelum menyodorkannya kepada Paofeii yang kini mulai melahap makanan kesukaannya.

Ketika Nata sedang sibuk mengomeli Paofeii yang hampir menggigit jarinya, seseorang berjalan ke arah Nata dan meletakkan tangannya di atas pucuk kepala anak itu. Nata nyaris melonjak kemudian tersenyum lebar ketika mendapati papi yang menghampirinya.

“Papi!”

Nah, yang satu ini sosok kesayangan Nata. Setiap kali sepasang mata Nata menangkap keberadaan papi, tanpa pikir panjang Ia akan menerjang lelaki itu dengan pelukan. Papi hanya terkekeh pelan ketika Nata mengusal di dalam pelukannya.

“Kakak kenapa sendirian di sini?” Papi menyisir surai hitam selegam malam Nata dengan jemarinya.

Nata menunjuk Paofeii yang kini berjalan melalui mereka dan masuk ke dalam rumah. Pasti kucing itu sekarang mengantuk dan ingin tidur. “Nata main sama Paofeii, terus kasih makan.”

Papi tersenyum dan mendaratkan satu kecupan di pucuk hidung Nata. “Paofeii udah makan, Nata-nya udah makan belum? Makan dulu, yuk! Papi masak tahu teriyaki.”

Sepasang mata Nata berbinar kemudian Ia meloncat girang sebelum menarik lengan papi seraya berjalan ke dalam rumah. “Ayo, papi! Nata lapar, Nata lapar!”

Papi hanya menggelengkan kepalanya ketika melihat tingkah si sulung. Ia hanya mengikuti Nata yang berjalan menuju ruang makan. Anak itu enggan melepaskan genggaman tangannya pada lengan papi barang satu detikpun.

“Eh, adek udah bangun?”

Suara pintu kamar terbuka, papi menghentikan langkahnya, begitu pula dengan Nata. Ia memutar bola matanya dengan malas ketika melihat Nara dengan wajah khas orang bangun dari tidur itu mengangguk dan menghampiri mereka.

Bagi Nata, Nara adalah rival nomor satunya dalam merebut perhatian dan kasih sayang papi. Si bungsu itu selalu saja berhasil merebut perhatian papi untuknya.

Nata beringsut mendekat ke arah papi, memeluk lengannya, dan menaruh dagunya di atas bahu lelaki itu. Menatap sengit ke arah Nara yang kini mengangkat sebelah alisnya, heran dengan tingkah Nata.

“Lo kenapa sih, Nat?” Tanya Nara seraya menjulurkan tangannya untuk memukul pelan lengan Nata. Papi tertawa pelan ketika merasakan si sulung menyembunyikan wajah di perpotongan lehernya.

Nata menggelengkan wajahnya sebelum berpindah untuk melingkarkan sepasang lengannya di pinggang papi, memeluknya dari belakang. “Papi punya Nata.”

“Papi punya papa lah!”

Rival Nata datang satu lagi.

“Satu dekade berlalu dengan begitu cepat, ya?” Ujar lelaki itu dengan senyuman yang merekah di wajahnya. Namun, tiada satupun orang yang dapat mengartikan senyumannya. Bahagia, kesedihan, penasaran, rindu, semuanya menjadi satu.

Sementara itu, lelaki yang berada di hadapannya hanya tertawa dengan nada yang sarkastik. “Aku kira ragamu telah ditelan oleh bumi dan jiwamu terbang bebas di angkasa.”

“Kuharap itu bukanlah sebuah doa,” helaan nafas panjang dan senyumannya tidak luntur. “Karena aku, sejauh apapun melangkah dan segelap apapun malam, tidak pernah berhenti berharap untuk dipertemukan denganmu lagi. Bahkan walaupun kamu tidak pernah menungguku lagi atau aku bukanlah alasan bahagiamu lagi.”

Tawa sarkastik, lagi. Namun, kali ini wajah lelaki itu tertunduk. Entah menghindari kontak mata atau menyembunyikan air mata.

“Satu dekade kamu menghilang entah kemana, satu dekade pula aku seperti orang gila.” Suaranya tercekat di tenggorokan. “Jangan membuatku semakin gila. Aku benci menunggu, tetapi nyatanya aku tetap menunggumu. Aku benci kenyataan tentang mengapa aku tidak pernah bisa melupakan atau berhenti berharap. Perasaanku masih sama dengan saat pertama kita bertemu. Memangnya kamu sudi untuk bertanggung jawab atas penderitaanku selama satu dekade ini?”

“Bahkan jika kamu menyuruhku untuk lenyap sebagai bentuk penantian dan penderitaanmu selama ini, aku akan melakukannya.”

“Kenapa kamu harus lenyap sendirian jika tujuanmu ke sini untuk bertemu denganku? Bawa aku pergi denganmu. Melebur dengan bumi dan terbang ke angkasa. Ayo, lenyap bersama.”

“Halo, Book!”

“Wah, akhirnya bisa ketemu juga sama Book!”

“Ini dia calon anak emas kita!”

Wajah Book memerah dan Ia tersenyum malu ketika riuh suara tiga pengurus divisi artistik Rhetorical menyambut indera pendengarannya, sementara sosok yang tadi memberikan sekotak pocky banana hanya tersenyum.

Walaupun Book tidak begitu banyak memiliki teman dekat di universitas, tetapi wajah-wajah di hadapannya cukup familiar. Setiap kali Ia menyempatkan diri untuk menonton pertunjukan teater Rhetorical, mereka pasti ada di sana.

Tay Tawan—sutradara, Namtan—stage manager, dan Off Jumpol—koor talent. Dan tentu saja si pemilik mata serupa rubah, Force si asisten sutradara.

“Kita santai aja, ya! Nggak bakalan serius serius banget, kok.” Ujar Namtan seraya tersenyum. “Oh iya, Book sebelumnya udah pernah nonton Rhetorical belum? Kalau udah, ceritain dong gimana dan mungkin, kesan pesannya.”

Book mengangguk dengan semangat sebelum membuka mulutnya untuk memulai cerita. “Lumayan sering! Event tahunan, pasti nonton. Terus beberapa pertunjukan kecil di event non-teater juga. Sebelumnya pernah nonton pertunjukan teater lain, tapi yang paling berkesan dan style-nya cocok sama selera aku sih Rhetorical. Apalagi mostly Rhetorical mengadaptasi dari classic story and I simply love it.

Setelahnya, suara bersahut-sahutan dari Namtan, Tawan, dan Jumpol menanggapi jawaban yang diberikan oleh Book. Ia tersenyum lebar dan sesekali menyahuti tanggapan para pengurus divisi artistik inti Rhetorical itu.

Sesaat, matanya sedikit bergulir ke arah ujung dimana Force duduk. Ia tidak bersuara sejak tadi, tetapi Book berani bersumpah jika lelaki itu kini tengah menatapnya. Entah bagaimana menjelaskannya, seolah-olah lelaki itu memusatkan seluruh atensinya untuk seorang Book Kasidet.

“Terus nih, apa yang bikin kamu tertarik masuk Rhetorical dan kenapa baru join tahun ini? Apa sebelumnya masih ragu atau gimana?”

Book mengedipkan sepasang matanya beberapa kali untuk mengusir rasa salah tingkahnya yang kerap kali datang ketika Ia melihat gerak-gerik Force sebelum Ia berdeham untuk menjawab pertanyaan sang sutradara.

“Yang pasti karena konsep secara luas dan style-nya yang bikin tertarik. Awalnya aku cuman mau jadi penonton setia, tapi lama kelamaan penasaran juga gimana sih rasanya ada di balik layar dan di atas panggung. Selain itu karena teman dekatku juga masuk Rhetorical,” Book terkekeh ketika mengingat kedua temannya. “Tahun kemarin kebetulan sempat sibuk ikut lomba story telling sama fotografi, jadi takut nggak bisa komitmen penuh dan nggak konsisten. Tahun ini semoga aja bisa full komitmen bareng Rhetorical.”

Tawan bertepuk tangan, kemudian tersenyum senang. “Wah, ini nggak salah pilih. Udah yuk, langsung bikin project Book jadi karakter utama.”

Sontak ruangan tersebut dipenuhi tawa, Book menyangkal perkataan Tawan dengan malu-malu sebelum Ia mencuri pandang ke tempat Force.

Lelaki itu masih menatapnya, kali ini dengan senyuman yang sama dengan hari pertama mereka bertemu sekaligus hari dimana Book jatuh cinta kepadanya.

“Terakhir!” Jumpol menepuk setumpuk kertas yang berada di depannya. “Coba baca sebaris narasi di sini plus baca dialog bareng… Bareng siapa, ya? Bareng gue?”

Namtan memutar bola matanya kemudian memukul meja dengan pelan. “Lo inget gak, sih, waktu itu lo ngusir Book pas dia keliling Rhetorical terus lo pacaran di depannya? Gue kalau jadi dia mah ogah baca dialog sama lo.”

Mereka berakhir saling berdebat hal tidak penting dan saling mengejek sementara Book hanya tertawa dan Tawan memijat pelipisnya.

“Gue mau dong baca dialog bareng sama Book.”

Satu kalimat akhirnya keluar dari mulut Force, membuat Book sontak menatap ke arah lelaki itu. Seketika, pandangan mereka bertabrakan dan saling mengunci satu sama lain.

“Hey.”

Merasakan tepukan di bahunya bersamaan dengan sapaan, Book lekas menolehkan kepalanya dan mendapati Force yang tersenyum tipis dan duduk di sebelahnya.

“Force!” Berseru refleks kemudian diam-diam mencubit lengannya sendiri ketika sadar jika mungkin, reaksinya terlalu berlebihan. “Kamu bukannya jadi interviewer?”

Yang ditanya mengangguk kemudian menopang dagunya di atas meja dengan satu tangan dan menatap Book yang mengajaknya bicara. Tidak tahu jika tingkahnya itu membuat sosok yang berada di sampingnya tengah mati-matian menahan supaya wajahnya tidak memerah hebat karena ditatap seperti itu.

“Masih lima belas menit lagi,” Force melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul 12.45, lalu menyodorkan sesuatu ke arah Book. “Nih, biar kamu gak terlalu nervous.”

Sepasang mata Book sedikit terbelalak ketika Force memberikan satu kotak pocky banana, Ia tidak menyadari jika sejak tadi lelaki itu membawanya.

“Eh, buat aku?”

Salah tingkah.

Book mengambil camilan itu sedangkan bola matanya bergulir kesana-kemari, kemana saja asalkan tidak beradu tatap dengan Force.

Force tertawa pelan dan tangannya terangkat dengan refleks untuk membetulkan poni Book yang sebagian menutupi matanya.

I heard you're obsessed with this. So, I bought you one.” Ujar Force, sama sekali tidak menyadari rona merah yang sudah menjalar hingga ke telinga lelaki yang berada di sebelahnya. “Maaf ya, sticky notes aku habis. Jadi, nggak bisa kasih tulisan semangat kayak orang-orang.”

Book hanya terkekeh, tetapi menjerit dalam hati. Jangan tanya bagaimana perasaannya setelah ini. Sudah jelas Ia akan semakin jatuh cinta kepada lelaki itu.

Thank you so much!” Ia sedikit memeluk sekotak camilan itu sebelum tawa keduanya pecah. “Tau darimana kalau aku suka banget sama pocky banana?”

“Rahasia,” Force mengerlingkan matanya sementara Book memajukan bibirnya sesaat. Lelaki dengan sorot mata layaknya rubah itu tidak dapat menahan senyumnya ketika si calon anak emas Rhetorical itu pura-pura merajuk. “Tinggal lima menit lagi. Aku duluan, ya. Jangan nervous pokoknya. Tenang aja. Semangat!”

Force menepuk pelan pucuk kepala Book sebelum berlalu, meninggalkan lelaki yang kini menyentuh pucuk kepalanya sendiri sementara rona merah di wajahnya sudah menjalar hingga kemana-mana.

Setelah sosok Force tidak dapat ditangkap lagi oleh pandangannya, Book menatap sekotak pocky banana yang berada di dalam genggamannya.

How can I not fall in love with you, J?”

Namanya Book Kasidet. Seorang anak lelaki yang tumbuh di keluarga kaya. Ayah dan ibu memanjakannya dengan begitu banyak kasih sayang. Ayah selalu membelikan mainan dan buku yang Ia suka, sementara sang ibu selalu memasak makanan enak dan menemaninya tidur.

Selama hampir sepuluh tahun Book selalu berpikir jika hidupnya sangat sempurna. Seperti kehidupan para pangeran di buku yang Ia baca. Tidak sampai pada kemudian hari, Book bertanya-tanya mengapa ibu selalu menemaninya tidur. Memangnya ayah tidak pernah kesepian? Lagipula, dirinya sudah beranjak dewasa. Malu rasanya jika teman-teman mengetahui dirimu masih tidur ditemani ibu.

Walaupun begitu, Book tidak pernah bertanya maupun menyuarakan protesnya. Ayah tetap membelikannya buku sepulang kerja dan ibu tetap memasak kue stroberi kesukaannya.

Tepat satu hari setelah hari ulang tahunnya yang ke sebelas, Book ingin mengutarakan perasaannya. Ia ingin mencoba untuk tidur sendiri tanpa dipeluk ibu ketika malam. Namun, ketika sepasang kakinya melangkah untuk mencari ayah dan ibu, Ia malah mendapati kedua bibinya tengah mengobrol di kamar tamu. Pintunya tidak ditutup.

“Kasihan Book, ya. Mau sampai kapan kakak sama kakak ipar bersandiwara?”

“Iya, aku juga kasihan sama Book. Kalau aku kayaknya malah nggak sanggup buat pura-pura di depan anakku.”

Apa?

Apa yang sedang mereka bicarakan?

Ibu bilang, Ia tidak boleh menguping pembicaraan orang dewasa. Tidak baik. Namun, Book sudah sebelas tahun. Bukankah artinya Ia juga beranjak dewasa? Jadi, Ia memutuskan untuk tetap di sana. Mendengarkan semuanya.

Ayah dan ibunya menikah bukan berlandaskan cinta. Memang menikah itu bukan perkara menyatukan dua insan, tetapi juga dua keluarga. Tetapi, apa artinya dua keluarga bersatu apabila kedua insan yang mengucapkan janji suci bahkan tidak saling mencinta?

Book tahu jika ayah dan ibu menyayanginya. Namun, Ia pun tahu jika dirinya lahir bukan karena perasaan cinta yang menjembatani keduanya. Dirinya terlahir karena ekspektasi keluarga besar serta orang sekitar.

Rasanya seperti disambar petir di siang hari yang cerah. Book bahkan tidak berpikir untuk menangis atau marah kepada orangtuanya karena selama ini mereka hanya berpura-pura. Ia justru diam seribu bahasa. Tidak ingin bicara tanpa mengutarakan alasannya pada ayah dan ibu. Berkata jika Ia ingin tidur sendiri dan selalu mengunci dirinya di kamar.

Book hanya keluar untuk mengambil makan, membawanya ke dalam kamar, mencuci peralatan makannya sendiri, dan pergi ke sekolah. Kedua orangtuanya jelas merasakan perubahan drastis anak semata wayangnya, tetapi mereka berpikir jika Book hanya sedang berada dalam fase menuju remaja.

Menghabiskan waktu di dalam kamar untuk membaca semua buku yang Ia punya dan menciptakan dunianya sendiri, melupakan segala sandiwara yang dimainkan oleh ayah dan ibu.

Hingga suatu hari, Ia terbangun karena keributan yang terdengar dari keluar kamar. Book sesaat berpikir jika ada maling yang masuk ke dalam rumahnya, Ia lekas melompat dari tempat tidur dan membuka pintu kamar.

Yang didapatinya adalah sang ayah beserta beberapa pelayan di rumah mereka terlihat panik luar biasa. Book melihat ibu berada di dalam gendongan ayah, tidak sadarkan diri. Ia ketakutan setengah mati, tetapi tidak bertanya apapun. Hanya mengikuti ayahnya ke rumah sakit untuk mengantar ibu.

Book tidak tahu apa yang terjadi, tetapi dirinya yakin jika ada lebih banyak hal yang disembunyikan oleh ayah dan ibu. Perjalanan menuju rumah sakit terasa begitu panjang hingga ketika mereka tiba di tujuan, ketakutan Book menjadi nyata.

Ibunya tidak terselamatkan lagi. Ibunya telah tiada. Ibunya pergi tanpa Ia tahu apa penyebabnya.

Ayahnya menangis, tetapi diam seribu bahasa. Tidak menjawab ribuan pertanyaan yang dilontarkan oleh Book. Hingga seorang dokter menghampiri mereka, mengatakan jika penyakit jantung ibunya sangat parah.

“Ayah tahu?” Tanya Book setelah menghapus air matanya, menatap ayahnya.

Sang ayah masih enggan bersuara. Hanya mengangguk untuk menjawab pertanyaan anak semata wayangnya.

“Ayah tahu, tapi ayah nggak pernah bilang sama Book?!” Bicara dengan nada tinggi kepada orangtua itu tidak baik, tetapi Book seolah tidak ingin mengingat hal itu. “Ibu juga nggak pernah bilang sama Book? Kenapa kalian semua punya rahasia, kenapa kalian semua bohong sama Book? Sebenarnya, kalian sayang sama Book nggak, sih? Atau jangan-jangan Book bukan anak ayah sama ibu?”

“Book Kasidet!”

Ayahnya akhirnya berseru ketika mendengar kalimat terakhir yang diucapkan anaknya. Namun, Book menulikan telinganya. “Book tahu semuanya ayah. Book tahu kalau ayah sama ibu nggak sayang satu sama lain. Book tahu kalau ayah sama ibu cuman pura-pura di depan Book. Kenapa, ayah? Bahkan sampai ibu sekarang sudah diambil Tuhan, kalian nggak pernah jujur sama Book?”

Sang ayah kembali terdiam. Dikejutkan oleh kenyataan sang istri meninggalkannya saja sudah sangat menyakitkan, ditambah lagi sang anak mengetahui apa yang selama ini mereka sembunyikan.

“Book, dengar ayah dulu.”

Wajah anak lelaki itu sudah basah, dipenuhi air mata, tetapi ekspresinya terlihat begitu marah. Menatap ayahnya dengan kecewa.

“Book nggak mau dengar ayah. Ayah jahat. Ayah yang bikin ibu pergi. Ayah yang bikin Book nggak bisa ketemu lagi sama ibu. Ayah pembohong, pasti ayah yang suruh ibu buat bohong. Ayah jahat. Book benci sama ayah!”

Sejak saat itu, kehidupan Book berubah seratus delapan puluh derajat.

“Ibu, coklatnya kurang, nggak?”

“Ibu, hati-hati itu panas!”

“Ibu, cobain deh udah enak belum?”

Force hanya menggelengkan kepalanya dan tersenyum tipis ketika melihat Book yang sudah lengket dengan ibunya, padahal lelaki itu gugup setengah mati satu jam yang lalu.

Sedikit kesal karena sekarang sang ibu melupakan eksistensi Force, seolah-olah seorang Book Kasidet adalah anak kandungnya. Namun, tak masalah. Temannya itu tampak sangat bahagia saat ini.

“Ibu, istirahat dulu aja. Biar Book yang beresin sisanya!” Book tersenyum manis, disambut dengan tepukan lembut di punggung tangannya.

Oh ya. Force baru saja menyadari sesuatu. Book menyebut namanya sendiri ketika sedang berbicara dengan sang ibu. Hal itu membuat Force tersenyum sejak tadi, entah mengapa. Ia teringat jika dulu, dirinya juga menyebut nama sendiri ketika berbicara dengan ibu.

“Oke, kalau gitu ibu ke kamar dulu, ya. Nanti kalau sudah matang panggil ibu. Terus kita makan siang bareng.” Wanita itu mencuci tangannya sebelum melempar pandangan ke arah anak semata wayangnya yang sejak tadi hanya menyaksikan adegan memasak di dapur. “Force, bantuin temannya dong jangan bengong!”

Yang diserukan namanya itu hanya melengkungkan bibirnya sebelum beranjak, berjalan dengan gontai ke arah dapur. “Tadi nggak boleh bantuin katanya bikin berantakan.”

Ibunya memutar bola mata sebelum memberikan satu cubitan pelan di lengan atas anaknya. “Kamu malah mainan tepung dari tadi bikin kotor. Iseng banget lagi muka temannya dikasih tepung.”

Force masih memajukan bibirnya, merajuk ceritanya. Namun, tetap saja mengisi gelas dengan air dingin dari dispenser untuk ibunya tanpa diminta.

“Ibu kok merasa familiar ya sama Book?” Wanita itu berucap dengan pelan seraya melirik ke arah dapur. Book masih sibuk dengan sisa adonan di atas countertop. “Kamu sebelumnya pernah ajak dia main ke sini belum?”

“Belum, Ibu. Ini baru pertama kali.” Ucap Force seraya sedikit mengingat-ingat mengapa ibunya bisa merasa familiar dengan temannya itu. “Mungkin, ibu pernah papasan sama dia waktu keluar? Mungkin, pas di gramedia ibu sempat lihat dia?”

Ibunya mengangguk setuju dengan perkiraan Force, kemudian meneguk air dari gelas. “Dia tuh seriusan teman kamu?”

“Iya lah, Ibu. Nggak percaya banget anaknya punya teman.” Force menggerutu dan menyenggol bahu ibunya dengan pelan, mengundang tawa dari wanita itu.

“Bukan gitu,” sang ibu kembali melirik ke arah Book sebelum berdeham dan melanjutkan perkataannya. “Harusnya jadi pacar aja nggak, sih? Idaman ibu banget soalnya.”

“Ibu?!”

Seruan Force kembali mengundang tawa ibunya yang kini berjalan ke arah kamar sementara sosok yang sedari tadi sibuk di dapur hanya memperhatikan mereka penuh tanya, penasaran tentang apa yang sedang mereka bicarakan.

Force masih terlihat menggerutu, tetapi Book dapat melihat jika wajah lelaki itu sedikit memerah. Mungkin, sang ibu habis menggodanya tentang sesuatu. Book hanya terkekeh kecil sebelum menghela nafas panjang dan menunduk.

It must be so happy to have a mother beside you. Your life indeed so perfect, Force.

Langkah Force terhenti ketika sosok yang berjalan di belakangnya itu tiba-tiba menarik dan menggenggam erat ujung bajunya. Kepalanya tertunduk dan sepasang matanya melirik kesana-kemari.

Force hanya tertawa kecil ketika Book terlihat gugup. Sedikit ragu, Ia menyentuh punggung tangan Book dan mengelusnya pelan supaya lelaki itu lebih tenang.

“Ibu enggak galak, kok. Serius.”

“Bukan,” Book membasahi bibirnya sekilas sebelum menghela nafas dengan panjang. “Takut salah tingkah.”

Karena wajah Book tampak benar-benar gugup, akhirnya Force menemaninya untuk duduk di teras sejenak. Berusaha untuk meyakinkan lelaki itu jika Ia tidak perlu gugup.

Book sendiri tidak tahu apa yang membuatnya gugup setengah mati seperti ini. Entah karena saat ini Ia tengah menginjakkan sepasang kakinya di rumah penulis buku kesukaannya atau karena saat ini Ia tengah menginjakkan kaki di rumah sosok yang membuatnya jatuh cinta.

“Jiratchapong Srisang!”

Keduanya tersentak dari lamunan ketika pintu terbuka lebar, seorang wanita paruh baya berparas ayu berdiri setelah menyerukan nama anaknya. Book nyaris menganga, mengerti darimana Force mendapatkan wajah nyaris sempurna itu. Ibunya sangat cantik apalagi ketika dilihat dari jarak sedekat ini.

“Kebiasaan ya kamu kalau temannya datang enggak langsung diajak masuk. Ibu udah tunggu dari tadi.” Ibunya menatap tajam ke arah Force yang kini tengah memajukan bibirnya ketika mendengar omelan wanita itu.

Sepersekian detik, wanita itu menoleh ke arah Book dan memberikan tatapan hangat. “Book Kasidet, ya? Yang waktu itu diceritain Force, kan?”

Book lekas berdiri dan tersenyum manis, menyalami tangan wanita cantik itu dan mengangguk.

“Selamat siang, tante. Maaf ya, saya tiba-tiba datang dan enggak bawa apa-apa. Lain kali, saya bawain sesuatu.” Book menggigit bibir bawahnya sekilas sebelum melanjutkan perkataannya. “Tante, saya suka banget sama tulisan-tulisan tante. Jujur, sekarang saya deg-degan banget masih enggak nyangka bisa berhadapan sama penulis hebat.”

Wanita itu tertawa, tawanya persis dengan tawa Force, lalu mengusap surai kecoklatan Book dengan lembut. “Terimakasih ya sudah suka tulisan saya. Saya senang sekali waktu Force cerita tentang kamu. Nah, nanti kita makan siang bareng ya? To break the ice, kalau kata orang-orang.”

Force sejak tadi diam, hanya tersenyum memperhatikan interaksi ibunya dan Book. Ia dapat melihat dengan jelas betapa bahagianya seorang Book Kasidet saat ini. Sepasang matanya berbinar kagum, menatap ibunya.

“Oh iya, panggilnya ibu aja supaya enggak canggung.” Ucap Ibu Force seraya menggandeng tangan Book. “Yuk, masuk! Kita masak-masak bareng ya.”


Book bergegas melangkahkan sepasang kakinya ke luar ketika mendengar suara motor berhenti di depan rumahnya. Sesuatu dari dalam dirinya meledak-ledak ketika irisnya menangkap sosok lelaki yang baru saja turun dari motornya.

“Hai, Book!” Sapa lelaki itu dengan senyuman lebarnya. Yang baru saja selesai mengunci rumah hanya tersenyum kikuk, lalu berjalan ke arah lelaki itu. “Nunggu lama, ya? Maaf tadi ibu nyuruh beli roti dulu.”

“Enggak apa-apa, kok! Aku juga barusan aja selesai pakai baju rapi dan beres-beres.” Sahut Book seraya melempar senyumnya untuk Force.

Dusta.

Padahal Ia telah rapi dan mondar-mandir menunggu Force di dalam rumah sejak 30 menit yang lalu.

“Cakep banget, deh.” Force berkata setelah memindai penampilan Book hari ini. Tangannya refleks terulur untuk menyentuh helaian rambut lelaki itu. “Berangkat sekarang, yuk?”

Force tidak tahu seberapa besar pengaruh dari tindakan kecilnya itu. Dunia Book mendadak seolah berhenti berputar dan jantungnya berdegup kencang ketika Force menyentuh helaian rambutnya. Sepasang matanya membola dan wajahnya memerah.

Namun, dengan cepat Ia menunduk untuk menghindari kontak mata dengan Force. Lidahnya seolah kelu untuk sekadar menjawab perkataan Force, hanya mengangguk pelan.

Book pikir setelah ini jantungnya akan berdetak dengan normal, tetapi pada detik selanjutnya Ia merasa jika rona merah yang tadi sempat mampir di wajahnya kini menjalar hingga ke telinga.

Seorang Force Jiratchapong meraih helm berwarna cokelat muda yang berada di genggaman Book, lalu tanpa permisi memakaikan helm itu di kepalanya. Senyuman yang akhir-akhir ini mampir dalam mimpi indah Book tidak sedetikpun lepas dari wajah tampannya.

“Nah, beres. Yuk, naik!”

Sial, sial. Apakah rumah sakit menerima pasien yang jantungnya berdegup dengan kencang karena jatuh cinta?

NSFW, vanilla sex, praising, dirty talk, raw sex, profanity, kinda kinky I guess???


Force memijat pelipisnya sebelum menyandarkan punggungnya yang terasa begitu kaku pada sofa. Sepasang netranya melirik ke arah layar laptop dan berkas-berkas yang berserakan di sekitarnya secara bergantian. Ia menghela napas dengan panjang ketika menyadari jika dirinya telah berkutat dengan pekerjaan selama hampir lima jam. Masih dengan mengenakan pakaian yang Ia kenakan saat ke kantor, tetapi dua kancing teratasnya telah tanggal begitupula dengan dasinya yang dilempar entah kemana sementara kedua lengannya digulung hingga siku.

Hari ini, Force pulang lebih larut karena harus lembur. Ia menjejakkan kakinya di rumah pukul sembilan malam, padahal seharusnya semua orang pulang pukul tujuh. Force sangat lelah, tetapi setidaknya Ia masih memiliki kesempatan untuk menghujani wajah kekasihnya dengan kecupan walaupun Force tahu jika kekasihnya telah terlelap.

Namun, niat untuk mengganggu tidur kekasihnya itu harus buyar ketika Ia mendapatkan pesan dari grup divisinya. Ada beberapa detail yang terlewat sehingga mereka harus mengecek ulang dan menambahkan lebih banyak hal. Force sontak mengurungkan niatnya untuk lekas masuk ke dalam kamar.

Di sinilah Ia berakhir. Di ruang tamu, sendirian. Waktu telah menunjukkan pukul dua dan Force masih berkutat dengan pekerjaannya. Tenggat waktunya besok, pukul lima sore. Sebenarnya, Ia memiliki cukup banyak waktu apabila Ia memutuskan untuk tidur terlebih dahulu. Namun, Force bukanlah tipe orang yang suka menunda-nunda pekerjaan. Ada perasaan tidak nyaman apabila Ia harus menunda pekerjaan, dirinya lebih suka memiliki lebih banyak waktu luang di akhir daripada harus mengejar waktu.

Satu berkas lagi dan semuanya akan selesai.

“Force...”

Yang dipanggil sontak menoleh, mendapati kekasihnya tengah berdiri di dekat sofa. Sepasang matanya setengah terpejam dan hal itu membuat Force gemas setengah mati. Lalu, setelahnya Ia merasa sedikit terkejut ketika menyadari kekasihnya tengah menggunakan kemejanya yang tampak kebesaran dan celana pendek yang hampir tidak terlihat, mengekspos paha mulusnya.

“Book, kebangun ya? Aku berisik?” Tanya Force seraya meletakkan laptopnya di atas meja dan membereskan berkasnya yang berserakan. “Ini masih jam dua, sayang. Tidur dulu, ya?”

Book menggeleng pelan, kemudian berjalan mendekat dan duduk di atas pangkuan Force. Sepasang lengannya melingkar di sekitar leher Force sementara kepalanya diistirahatkan di atas bahu sang kekasih.

Force tersenyum kecil ketika menyadari tingkah manja kekasihnya. Tangannya terangkat untuk mengelus punggung Book dengan lembut, lalu mendaratkan kecupan pada pucuk kepala lelaki yang berada di pangkuannya. “Kamu kenapa enggak pakai piyama? Memangnya enggak kedinginan?”

Kekasihnya itu hanya bergumam, lalu mengeratkan pelukannya dan menggesekkan hidungnya di leher Force. “Kamu sibuk banget, ya? Pulangnya malam, kerjaannya masih dibawa ke rumah.” Book mendaratkan banyak kecupan di leher Force sementara tangannya menyelinap di antara surai sekelam malam, mengelusnya dengan lembut. Suatu kebiasaan yang selalu sukses membuat Force tenang dan nyaman dalam keadaan apapun.

“Iya, tapi sebentar lagi selesai, kok. Tinggal cek satu berkas, kalau datanya sudah benar semua berarti enggak ada yang perlu diulang,” Force membawa jemarinya menyelinap ke dalam kemejanya yang dikenakan oleh Book. Mengelus punggung kekasihnya dan alisnya terangkat ketika menyadari tubuh kekasihnya sedikit bergetar dengan sentuhan itu. “Sayang, hey. Kamu needy, ya?”

Anggukan kecil dari Book itu mengundang senyuman di wajah Force. Terbesit rasa bersalah di dalam hatinya. Entah sudah berapa lama sejak terakhir kali mereka berbagi sentuhan, Force terlalu sering membiarkan dirinya tenggelam dalam pekerjaan akhir-akhir ini dan pulang dengan keadaan Book yang sudah berpetualang di alam mimpi.

“Kamu kenapa pakai baju aku? Kangen banget, ya?” Tangan Force tidak berhenti bergerak untuk memberikan sentuhan di punggung Book. “Or did you touch yourself while thinking of me and wearing my shirt?”

Wajah Book dipenuhi rona merah ketika pertanyaan itu terlontar dari mulut prianya. Force telah mengetahui jawabannya detik itu juga. Ia menyentuh dagu Book, memaksa lelaki itu untuk menatap matanya. “How does it feel? Did your little hands satisfied you enough?

Lelaki yang berada di pangkuan Force itu merengek dan mencengkram kemeja Force dengan pelan. “No, it's not. No at all.

Force mencuri kecupan di sudut bibir Book dan menjilat bibirnya sekilas untuk menggoda kekasihnya itu. “Sayang, capek enggak? Do you want to do it?”

“Tapi, Force yang capek. Harusnya Force istirahat dan tidur.” Book memajukan bibirnya. Tersadar jika prianya itu sangat lelah walaupun susah sekali untuk menahan rasa haus akan sentuhan kekasihnya.

Pada detik selanjutnya, desahan kecil keluar dari bilah bibir Book ketika Force dengan kurang ajar menyentuh kejantanannya yang masih terbalut dengan celana pendek. “You got a boner, baby. Are you sure to handle this alone?” Force berbisik di telinganya dengan suara rendah, membuat Book mengumpat dalam hati.

Force terkekeh, sedikit mengejek ketika kekasihnya itu menggeliat tidak nyaman setelah menerima sentuhan dadakannya. Mencoba menerka berapa banyak waktu sibuknya dan apa saja yang dilakukan oleh si manis ketika sedang butuh sentuhan sehingga Ia menjadi sesensitif ini.

“Aku capek, but I don’t want you to be desperate like this,” ucap Force seraya mendaratkan satu kecupan di pipi Book yang memerah. “Cherry on top and make it quick so we can sleep while hugging until the sun rises, call?

Call.

Memangnya ada pilihan lain selain melepas rindu dan menyalurkan hasrat mereka? Walaupun biasanya mereka lebih menyukai bercinta di atas kasur, menghabiskan dua sampai tiga sesi, dan menikmati waktu yang berjalan, tetapi untuk kali ini mereka tidak bisa menahannya bahkan untuk sekadar berjalan ke kamar.

Tidak peduli sofa ini tidak senyaman kasur mereka ataupun laptop Force yang kini layarnya berwarna hitam, mode sleep, karena Ia tidak menyentuhnya lagi. Persetan dengan semua hal itu. Book jauh lebih menarik untuk disentuh.

Bibirnya mulai meninggalkan jejak kepemilikan di sepanjang leher dan tulang selangka Book, tanpa perlu berpikir jika ada yang akan melihatnya. Toh, pria manisnya itu selalu menghabiskan waktu di rumah, mengurus bisnisnya di rumah sehingga Force tidak perlu khawatir orang-orang melihat semua tanda merah di sekujur leher dan bahu Book.

Di pangkuannya, Book menggeliat kecil sementara mulutnya mengeluarkan suara yang sangat Force suka. Tangannya kembali menggerayangi setiap inci tubuh sang kekasih setelah berhasil melepas semua kancing kemejanya yang dikenakan Book. Untuk yang kesekian kalinya, Force berpikir hal apa saja yang dilakukan Book ketika prianya itu menyentuh dirinya sendiri sehingga menjadi sangat sensitif oleh sentuhan-sentuhan seperti ini.

“Jujur sama aku,” ujar Force seraya memainkan jemarinya di kedua puting Book. “Kamu mikirin apa aja waktu kamu sentuh diri kamu sendiri selagi enggak ada aku? Maybe, next time we can make your wild imagination becomes true.

Book memejamkan matanya sementara mulutnya terbuka untuk menyuarakan desahan ketika Force tidak berhenti mengerjai dadanya. “It’s now happening already, Sir. You’re fucking me in a suit that you wear when you went to work.

Fuck, you call me what?

Sir.”

Damn.

Yang terjadi pada detik selanjutnya adalah Book mendongakkan kepalanya sementara dadanya membusung karena Force menghisap kedua putingnya secara bergantian. Jemarinya menyelinap di antara helaian rambut Force dan sedikit menariknya ketika Ia merasakan nyeri dan nikmat di saat yang bersamaan.

Book memohon kekasihnya untuk berhenti, tetapi tentu saja Force tidak akan mengindahkan permohonan itu. Lidahnya tidak berhenti bergerak untuk menjilati puting Book dan menggesekkan giginya di sana. Tangannya bergerak untuk menanggalkan celana sang kekasih yang berada di pangkuan sebelum Ia mendaratkan satu tamparan di pantat Book.

“Force!”

Akhirnya Force melepaskan mulutnya dari dada Book dan menatap sepasang mata kekasihnya seolah tidak memiliki kesalahan apapun. “You have no clue how impactful your words are. Is that your new kink, eh?” Force mengangkat alisnya, memperhatikan wajah Book yang semakin memerah. Entah menahan nafsu atau menahan malu. “Don’t get mad at me. I know you’re feeling aroused now. But, let me save it for later. I definitely will wreck you on the weekend after I finish all of my work. Just prepare for it.

Book hanya mengangguk, menurut apa yang dikatakan oleh Force. Dirinya sudah dibuat kewalahan hanya dengan bayangan Force yang mendominasinya seharian penuh. Nafasnya memburu, Ia mengalungkan lengannya di bahu Force dan mencium bibir prianya dengan berantakan.

Diam-diam, Force tersenyum. Membiarkan sang kekasih melahap bibirnya sementara tangannya bergerilya di sekitar pinggang dan pantat Book.

“Sayang, a moment, please,” Force sedikit menarik bahu kekasihnya sebelum menyentuh bibir tipis kesukaannya dengan lembut. “Suck them.

Lagi, Book menuruti perkataan Force. Memasukkan tiga jemari kekasihnya ke dalam mulut. Membiarkan jemari itu bermain di dalam mulutnya, menekan lidahnya, sebelum Ia menghisap jemari Force dan membasahinya.

Shit,” umpat Force ketika memperhatikan apa yang sedang dilakukan oleh Book. “I wonder how it feels to have my dick inside your warm mouth.

Book menatap Force dengan sayu ketika mendengar apa yang dikatakan oleh kekasihnya itu. Pandangan keduanya menggelap, nafsunya telah berkabut.

Force mengusap pipi Book dengan lembut sebelum menarik jemarinya dari mulut lelaki itu. Mendorong pelan punggung Book sehingga Ia dapat menyandarkan kepalanya di atas bahu Force. Tangan Force bergerak menuju pantat Book, mengusap lubang sempit kekasihnya dari luar sebelum Ia memasukkan jemarinya ke dalam sana.

“Ahh!”

Book mencengkeram lengan atas Force dengan kuat sementara wajahnya di tenggelamkan di bahu sang kekasih yang kini mulai sibuk menggerakkan jemarinya di dalam sana.

Damn, you're so tight.

Nhnn, Force…”

Belum ada dua menit dan Book sudah mendesah kewalahan, merasakan bagaimana dua jari Force bersarang di dalam analnya. Gesekan antara jemari Force dengan dinding analnya membuat paha Book bergetar di atas pangkuan sang kekasih.

Force mendaratkan kecupan di pucuk kepala Book sementara tangannya tidak berhenti bergerak. Tubuh yang berada di pangkuannya itu sedikit melonjak ketika ujung kedua jarinya menyentuh suatu titik di dalam sana. Membuat Book nyaris berteriak dan tubuhnya bergetar.

“Force, aku enggak mau keluar duluan.”

Mendengar rengekan yang diselingi oleh desahan itu membuat Force tertawa kecil sebelum menarik kedua jarinya keluar dari lubang Book.

Padahal tadinya Ia ingin terus mengerjai lubang sempit itu, Force suka ketika mendengar Book memohon karena frustasi dan putus asa. Force suka ketika suara dan badan Book bergetar ketika Ia mencapai pelepasannya.

Namun, ketika Ia menyadari mereka tidak begitu memiliki banyak waktu, Force harus menyimpan segala ide jahilnya untuk sesi bercinta di akhir pekan.

Cengkeraman Book pada lengan atas Force mengendur ketika Ia merasakan sensasi kosong pada lubangnya sebelum Ia sedikit mengangkat tubuhnya untuk memudahkan Force melepas celana panjangnya.

You look so pretty when you're begging. Beg for me later, okay?

Force memegang kedua sisi pinggul Book ketika Ia berhasil melepas celananya sendiri. Penisnya yang telah berdiri tegak sejak tadi bergesekan dengan pipi pantat Book, membuat lelaki itu mendesah pelan.

Dengan gemetar, tangan Book terjulur ke belakang untuk meraih penis Force dan mengarahkan pada lubangnya. Book menurunkan pinggulnya dengan perlahan, kepalanya mendongak ketika Ia merasakan penis Force mulai memasuki lubangnya dan menggesek rektumnya.

“Force, ahh!”

Book lekas menyembunyikan wajahnya di bahu Force untuk meredam suara yang terus keluar dari mulutnya sementara Force menggeram ketika merasakan dinding rektum Book seakan memijat penisnya di dalam sana.

Dengan bantuan Force, Book menggerakkan pinggulnya naik turun dan merengek ketika Ia merasakan penis Force masuk semakin dalam, hampir menyentuh prostatnya di dalam sana.

You're so damn tight, when was the last time we do it?” Force meremas pantat Book, membuat lelaki yang sedang bergerak naik turun di pangkuannya itu mendesah semakin berisik. “Sayang, coba lihat sini.”

Book mengangkat wajahnya untuk menatap Force, membuat lelaki itu terpana untuk sesaat. Wajah Book yang memerah, penuh dengan peluh, matanya sayu, dan mulutnya terbuka. Entah kebaikan macam apa yang dilakukannya di masa lalu hingga Ia dapat melihat hal seindah ini dengan mata kepalanya sendiri.

“Ganteng. Indah. Cantik. Banget. You're just as red as cherry now. Indeed, my cherry on top.” Force turut menggerakkan pinggulnya berlawanan arah dengan Book. Kurang dari lima detik setelahnya, suara desahan Book meninggi ketika ujung penis Force menyentuh prostatnya.

“Ahh!”

Book terisak, menangis dalam kenikmatan ketika Force mencengkeram erat pinggulnya dan menggerakkannya naik turun tanpa jeda, membuat penis Force menghantam prostatnya berkali-kali. “Force, it feels so good. It feels so good to have yours inside me. Why are you so good at this?”

Punggung Book sedikit membusur ketika Ia merasakan milik Force membesar di dalamnya. Sejujurnya, Ia sudah tidak mampu berkata-kata lagi. Nyaris lupa dengan namanya sendiri sebab sejak tadi Ia terus meneriakkan nama Force. Namun, ada sesuatu yang harus Ia katakan saat ini.

“Force, your dick twitching inside me—ahh!”

Satu kalimat yang bahkan belum selesai diucapkan itu mengundang Force untuk bergerak lebih liar, penisnya terus menghantam prostat Book di setiap hentakan.

“Force, Force.”

Book kewalahan. Kakinya bergetar sementara penisnya telah mengeluarkan precum sejak tadi, membasahi kemeja yang dikenakan oleh Force. Ia mendekatkan tubuhnya ke arah Force, mencoba untuk berbicara di telinga Force dengan susah payah karena hentakan penis sang kekasih di lubangnya tidak memberikannya jeda untuk sekadar berhenti mendesah.

“Hnnh, Force. Happy birthday! Happy birthday, love. You forget it, don't you?”

Seolah dunia berhenti berputar, Force sontak menghentikan gerakan pinggulnya dan menahan pinggul Book untuk berhenti bergerak. Mengundang rengekan dari yang sedang berada di pangkuan. Tangannya berpindah untuk meraih bahu sang kekasih, menatapnya tepat di mata.

“Sayang?”

Book mengangguk dan tersenyum, kemudian mendekatkan wajahnya untuk mendaratkan kecupan di bibir Force. “Today is your birthday. I've known that you'll forget your birthday just like last year. I'm sorry that I don't have a proper surprise for you, but I promise I'll bake you a cake this evening.

Force lekas menarik kekasihnya dalam pelukan dan menggerakkan pinggulnya lagi. Book terkejut dengan gerakan yang terlalu tiba-tiba itu, tangannya sontak kembali mencengkram lengan atas Force, dan suara desahannya kembali memenuhi ruangan.

“Sayang, terimakasih. Terimakasih banyak.” Force berucap selagi pinggulnya tidak berhenti bergerak, ujung penisnya terus menghantam prostat Book. “Damn, you're always full of surprise and always be the one. Baby, I'm so grateful for having you by my side. Please, stay with me forever, yeah? I'm gonna marry you next year just like what I've promised.

Entah apa yang harus Book katakan, kepalanya terasa berputar. Berusaha untuk memproses kalimat demi kalimat yang diutarakan Force sementara kenikmatan menyerangnya bertubi-tubi.

“Force, Force!”

Call my name. Just call my name, scream it as loud as you want.

Wajah Book semakin basah oleh peluh dan air mata. Sepasang kakinya bergetar, tidak kuat untuk bergerak, membiarkan Force untuk mengejar pelepasan keduanya sendirian.

Tubuhnya serasa dibawa terbang begitu tinggi, rektumnya mengetat seolah mencengkram penis Force di dalam sana. Desahan dan geraman keduanya bersahut-sahutan, memenuhi ruangan yang mereka tempati saat ini.

Book menggigit bahu Force untuk meredam teriakannya ketika pandangannya terasa putih. Ia mendapatkan pelepasan, cairannya mengotori kemeja Force dan perutnya sendiri. Kurang dari satu menit setelahnya, Force menyusul. Melepaskan cairan spermanya di dalam lubang Book.

Keduanya terengah-engah, menghirup oksigen dengan rakus, bergetar dalam kenikmatan pasca ejakulasi. Force menyandarkan punggungnya pada sofa sementara lengannya melingkar di pinggang Book dengan erat.

“Sayang, terimakasih.”

Sepasang mata Book terpejam, tetapi senyuman manis hadir di wajahnya. Ia mengangguk pelan dan mengistirahatkan kepalanya di bahu Force. “Dua tahun berturut-turut kamu lupa sama ulangtahun sendiri. I had to remind you, tapi bedanya tahun kemarin enggak panas kayak gini caranya.”

Force tertawa ketika mendengar suara Book mengecil di kalimat terakhir karena malu. Pucuk kepala kekasihnya itu dihujani dengan kecupan. Setiap hari, rasa sayangnya semakin besar. Book bukanlah orang yang gampang untuk mengutarakan sesuatu, entah sudah berapa kali Force berkata jika Ia harus mengatakan apapun yang tengah dirasakan atau diinginkan.

Namun, Force juga tidak lupa jika kekasihnya ini penuh dengan kejutan. Banyak sekali hal yang dilakukan oleh sang kekasih dan membuatnya nyaris tidak dapat berkata-kata. Ia semakin sayang, semakin cinta.

Promise that you'll stay by my side?”

I promise. You're gonna marry me next year, though. There's no way to leave you.” Book tertawa kecil kemudian mengecup pipi Force dengan lembut. “Aku tahu kamu kerja sekeras ini untuk kita. Tapi, kamu harus ingat kalau kamu juga punya aku. Aku bisa bantu kamu. Ini semua tentang kita, kan? Jadi, kamu enggak perlu tanggung semuanya sendirian. Berbagi sama aku, ya?”

Force merasakan matanya memanas, tetapi Ia lekas membenamkan wajahnya pada bahu sang kekasih sementara tangannya bergerak untuk mengelus punggung Book dengan lembut.

“Iya, sayang. Maaf, ya, aku terlalu fokus sama pekerjaan. Aku nyaris lupa sama apa yang kamu mau. Aku lupa buat ngurus diri sendiri. Aku janji ini yang terakhir aku lembur dan bawa kerjaan ke rumah.” Ucap Force sebelum mendaratkan kecupan di sekitar leher Book yang penuh oleh tanda kepemilikannya.

Sepasang mata serupa rubah itu melirik ke arah jam dinding dan Ia tersenyum kecil ketika Book menguap. “Sekarang waktunya istirahat dan tidur, ya? Udah jam tiga. Kita lanjut ngobrolnya setelah bangun tidur, boleh?” Pandangannya mengedar ke sekitar ruangan yang mereka tempati. “I will take care of you and clean the mess that we made after this. Aku gendong sampai kamar kayak anak bayi, ya?”

Book hanya mengangguk. Tubuhnya terasa begitu lelah dan rasa kantuk menyerangnya begitu saja. Pelukannya pada leher Force mengerat. “Mhm, maaf ya kalau berat. Aku tadi makan marshmallow banyak banget.” Book bergumam dengan suara mengantuknya.

Force hanya tertawa kemudian menghujani pucuk kepala kekasihnya dengan kecupan lebih banyak. Sepertinya, Force benar-benar telah menyelamatkan dunia di masa lalu sehingga di masa kini Ia memiliki seorang Book Kasidet sebagai dalam hidupnya.

“Force,”

“Iya, sayang?”

Happy birthday!


Book mengistirahatkan kepalanya di atas meja perpustakaan, tidak berniat untuk melanjutkan buku yang tengah Ia baca sementara seorang sahabatnya yang bernama Mix tengah sibuk menggulirkan jemarinya pada layar ponsel.

“Lo lagian kenapa gak bilang kalau udah keluar dari satu jam yang lalu, sih? Jadi nunggu lama begini.” Protes Mix dengan suara pelan.

“Ya biar kesannya gue enggak terlalu nungguin dia gitu, lah. Enggak enak kalau dia mikir kalau dia bikin gue nunggu lama.” Jawab Book.

Tadinya, Mix memang ingin menunggu Book yang telah membuat janji dengan Force untuk bertemu di depan perpustakaan fakultasnya.

Namun, antusias dan rentetan kata untuk menggoda Book menguap begitu saja ketika waktu terus berjalan. Kelas mereka seharusnya memang selesai pada pukul dua belas siang, tetapi dosen mereka tengah terburu-buru dengan agendanya sehingga kelas harus diakhiri satu jam lebih cepat.

Mix bergeser lebih dekat ke arah Book yang terlihat bosan dan sedikit gelisah. Maklum, baru pertama kali jatuh cinta.

“Lo daripada bengong terus kesambet, mending temenin gue nonton video lucu.” Ucap Mix seraya menaruh ponselnya di bagian tengah. Book mulai menaruh perhatiannya pada layar ponsel Mix, keduanya tertawa diam-diam ketika menonton video lucu yang bertebaran di linimasa twitter Mix.

Sampai mereka berhenti di salah satu video yang membuat Mix tidak dapat menahan tawanya. Ia tertawa sangat keras hingga semua orang yang berada di dalam perpustakaan menoleh ke arah mereka. Sebagian ikut menertawakan, sebagian lagi menyuruhnya diam.

Mix mengubur wajahnya di tumpukan buku yang Book bawa ke meja mereka sementara Book sibuk mengomelinya dengan berbisik.

“Mix ih jelek banget ketawanya, lihat tuh pada lihat ke sini semua!” Book merajuk, bibirnya maju satu senti dan tangannya memukul pelan bahu sang sahabat yang masih sibuk menahan tawa.

“Aduh, sumpah maaf.” Mix berusaha untuk mengusir bayangan video lucu itu dari benaknya, lalu menghela nafas panjang dan mengedarkan pandangannya ke segala arah untuk mencari distraksi supaya perutnya tidak sakit karena terlalu banyak tertawa.

“Eh, itu Force bukan, sih?”

Book sontak menoleh ke arah yang Mix tunjuk, di depan pintu masuk. Pintu masuk dan bagian depan perpustakaan memang terbuat dari kaca sehingga aktivitas di dalam akan terlihat dari luar, begitupun sebaliknya.

“Eh, iya…”

Mix mendorong bahu sahabatnya seraya tersenyum, menyuruhnya untuk segera bergegas menghampiri sang asisten sutradara klub teater kebanggaan universitas.

Tanpa disuruh dua kali, Book segera bangkit dari duduknya dan melangkah ke arah luar perpustakaan. Ia mengepalkan tangannya sejenak untuk menetralkan detak jantungnya ketika melihat wajah Force.

“Eh, halo Force?”

Book menyapanya dengan ragu, sedikit memutar otaknya untuk mencari jawaban apabila Force bertanya berapa lama Ia menunggu.

“Book!” Sapa Force seraya menepuk bahu teman barunya itu. “Udah nunggu lama, ya? Maaf gue tadi ke klub bentar.”

Lelaki yang memakai sweater berwarna biru langit itu menggeleng dengan cepat. “Enggak, kok. Ada Mix di dalam. Aku tadi mau ke kamar mandi, eh ternyata ketemu Force di sini.”

Dusta.

Padahal Ia sudah ke kamar mandi sebelum menjejakkan kakinya di perpustakaan.

Force tertawa pelan, senyum tidak pernah luntur dari wajah tampannya itu. Hal itulah yang membuat Book mati-matian menahan untuk tidak terlalu lama menatap wajah Force. Jantungnya bertalu-talu tidak karuan.

“Oh iya, gue bawain ini.” Force mengulurkan bungkusan yang Ia bawa. Book tidak menyadari jika sejak tadi lelaki itu menggenggam kantong plastik berwarna putih dengan logo yang tampak familiar baginya.

Pemuda itu terdiam sesaat ketika Force memberikan sesuatu untuknya sebelum Ia menerima bungkusan itu dengan sedikit ragu. “Eh, makasih banyak ya. Jadi ngerepotin begini.”

'Oh, ini kan nasi padang yang waktu itu aku makan bareng Force waktu keliling klub…' batin Book dalam hati.

“Gue enggak tau kalau lo ternyata sama Mix. Kalau dia mau gue ambilin juga ke klub,” ucap Force seraya melirik sekilas ke dalam perpustakaan.

Book tersenyum senang, kemudian menggelengkan kepalanya. “Enggak apa-apa, kok! Nanti biar aku bagi dua sama Mix. Isinya kan banyak.”

Force mengusap tengkuknya sesaat, lalu terkekeh. “Kebetulan dong itu isinya ada dua. Kayaknya cukup buat dimakan berdua. Kalau kurang bilang aja ya, masih banyak di klub.”

“Iya, Force! Sekali lagi makasih banyak, ya. Jadi dapat makan siang gratis gini,” Book sedikit menggoyangkan kantong plastik yang Ia genggam dengan erat. “Emang isinya apa, sih? Kok ada dua? Banyak banget…”

“Telur balado!”

“Eh, ternyata waktu itu Force nanya aku suka telur balado atau enggak tuh karena konsum Rhetorical hari ini telur balado, ya?”

“Hehe, iya…”

DUSTA.