redtulips


“Oh, jadi nanti gue enggak perlu nganterin lo pulang dulu karena lo mau ketemu sama Force?”

Book sontak memukul lengan atas Fluke dan memberikan tatapan kesal sebelum melirik ke sekitarnya. “Jangan keras-keras nanti ada yang dengar!”

Yang dipukul hanya mengaduh, pura-pura kesakitan dan tertawa setelahnya. Fluke melepas helmnya dan meletakkannya di atas spion motor sebelum tangannya berpindah untuk membantu Book melepas helmnya.

“Emangnya lama, ya? Kalau lama nanti baliknya bareng gue aja gapapa,” Fluke meletakkan helm milik Book di bagian belakang motornya. “Gue nanti biasa lah di klub. Samperin aja.”

Book bergumam sesaat, lalu mengetukkan jari telunjuknya di dagu. “Sebenernya, gue enggak tau dia mau ngomongin apa. Paling tentang Rhetorical.”

Fluke mengangguk mengerti kemudian mengulurkan tangannya untuk membetulkan letak rambut Book yang sedikit berantakan setelah Ia melepas helmnya. Sementara Book sibuk bergumam, menebak-nebak apa sekiranya akan Force bicarakan nanti. Fluke hanya tertawa kecil mendengar gumaman sahabatnya itu.

“Ya ya ya, keep guessing, then,” Fluke lekas merangkul bahu Book dan sedikit menyeretnya untuk berjalan ke arah gedung fakultas mereka. “Mending sekarang kita masuk sebelum Mix ngomel-ngomel.”

“Fluke bawel!”


Di sisi parkiran yang berseberangan dengan tempat dimana Fluke memarkirkan motornya, dua orang pemuda sibuk memandangi sepasang sahabat itu semenjak mereka datang.

Sebenarnya, tidak ada niat untuk memandangi orang lain diam-diam, tetapi semua ini hanya kebetulan. Rasa penasaran itu memang seharusnya cepat-cepat dipuaskan, bukan?

“Jadi, menurut lo gimana, Boom?”

Boom mengangkat alisnya dan melirik ke arah pemuda di sampingnya, Force. Lelaki itu enggan melepaskan pandangannya dari Fluke dan Book sedikitpun.

“Menurut gue gimana apanya?” Boom menjawab pertanyaan temannya dengan pertanyaan lain. “Menurut gue mereka berdua berangkat bareng.”

Force berdecak kesal, lalu dengan sengaja menendang pelan betis Boom. Pemuda itu mengaduh dan melempar satu umpatan dengan berbisik pada Force.

Entah apa yang merasuki temannya itu. Force bukanlah tipikal orang yang suka berlama-lama di parkiran hanya untuk memandangi orang lain atau mengobrol. Namun, pagi ini mereka mendapati dua sosok yang menjadi objek obrolan mereka kemarin.

Boom tidak sepayah itu untuk tidak mengerti maksud dari pertanyaan Force. Topik pembicaraannya pasti masih sama; tentang apakah hubungan Book dengan Fluke itu sesuatu yang platonik atau romantik?

Bagi Boom yang dapat julukan Paling Tahu Segalanya dari Milk, tentu saja Ia tahu jika Book dan Fluke tidak lebih dari sepasang sahabat dekat. Lagipula, Ia telah mengatakan hal ini kepada Force sebelumnya. Entah mengapa temannya yang menjabat sebagai asisten sutradara Rhetorical itu masih tidak yakin.

“Lihat deh, helmnya dilepasin terus rambutnya dirapihin begitu.” Ujar Force, menarik lengan Boom mendekat dan menyuruh lelaki itu untuk turut memperhatikan apa yang tengah Ia perhatikan. “Backstreet kali, ya?”

Boom tertawa seraya memukul pelan jok motor Force. “Lo kenapa, sih, tiba-tiba jadi kepo banget sama mereka?”

Force terdiam sesaat dan menggerakkan bola matanya kesana-kemari. Memikirkan alasan yang tidak pernah Ia pikirkan sebelumnya. Entah Ia hanya sekadar ingin tahu tentang kehidupan calon anggota baru Rhetorical itu atau adakah alasan lain di baliknya?

“Lo tau 'kan kalau Bang Tawan nitipin Book ke gue soalnya Book pasti bakalan canggung kalau sama Bang Tawan. Gue takutnya kalau misal mereka beneran pacaran, nanti Fluke cemburu sama gue gimana?”

Boom mengangguk, berpikir jika alasan Force cukup masuk akal walaupun dirinya sedikit berharap ada alasan lain sehingga Ia memiliki banyak topik untuk mengerjai temannya.

“Ya gapapa kali. Orang backstreet pasti bakalan go public. Apalagi kalau punya pacar kayak Book Kasidet, masa iya mau backstreet terus. Kalau gue mah ya gue pamerin.” Boom mengutarakan pendapatnya seraya menatap sosok Fluke dan Book yang berjalan menjauh dari parkiran. “Udah ah, gue lapar. Cari sarapan dulu, yuk!”

Tanpa Boom sadari, Force mengangguk setuju dengan pendapat pemuda itu. 'Kalau gue punya pacar kayak Book juga bakalan gue pamerin ke seluruh dunia, ucapnya dalam hati.


Seperti apa yang telah diperkirakan oleh Mix sebelumnya, kini Book sibuk merengek ketika Fluke mencubiti pipinya dengan gemas tepat setelah Book mengatakan alasan tentang mengapa Ia melamun sampai 15 menit dan menatap ponselnya.

“Force? Force Jiratchapong, ya? Udah enggak naksir sama Gawin Caskey lagi?” Goda Fluke seraya menaik turunkan alisnya ketika Book berhasil melepaskan kedua tangan Fluke dari wajahnya.

“Gue enggak naksir Gawin!” Protes Book, sepasang kakinya menghentak kecil di atas lantai. Fluke tertawa terbahak-bahak, lalu tangannya terangkat untuk merapikan rambut sahabatnya yang dibuat berantakan tadi. “Iya iya, ampun. Udah gede ya si paling lucu.”

Book merengut, tetapi tidak protes. Baik Fluke ataupun Mix, keduanya tidak akan pernah berhenti untuk menatapnya sebagai sosok anak kecil yang terperangkap di tubuh orang dewasa. Book sudah terbiasa akan hal itu, lagipula mereka berdua adalah orang terdekatnya.

Mix seolah hidup di dunianya sendiri, sibuk mengunyah popcorn kemasan dan menonton tayangan film di televisi. Book menceritakan semuanya, tentang apa yang terjadi ketika Book menjejakkan sepasang kakinya di klub teater, bertemu seorang lelaki bernama Force, dan tiba-tiba mendapatkan pesan dari lelaki itu entah darimana Ia mendapatkan nomornya.

“Oh, gue baru inget kemarin Namtan minta nomor lo,” ujar Fluke ketika suasana mulai kondusif. Ia menyandarkan punggungnya pada sofa sembari lengan kirinya merangkul pundak Book. “Katanya sih mau ngomongin sesuatu. Mungkin, Force yang disuruh buat ngomong karena udah ngobrol duluan sama lo.”

Book mengangguk setuju, menyamankan posisinya dalam rangkulan Fluke. “Iya, mungkin… Tapi, tetep aja gue kayak aneh. Gue yang aneh. Coba dengar, kayaknya gue harus dibawa ke rumah sakit.”

Sahabatnya itu tertawa lagi ketika Book meraih tangan Fluke untuk diletakkan tepat di atas dadanya, tepat dimana jantungnya berdetak dengan kencang.

“Lo beneran jatuh cinta, ya.”

Mix menoleh, melepaskan pandangannya dari film yang sejak tadi Ia tonton. “Lo lihat, dia jatuh cinta selucu ini. Coba aja kalau Force tau.”

“Don't you dare to let him know!” Seru Book, sepasang matanya melotot. Memberikan tatapan seolah Ia sedang marah besar, tetapi justru Mix tertawa. “Lo tenang aja sih, I will keep my mouth shut. Enggak tau kalau yang di sebelah lo itu.”

Book lekas melirik ke arah Fluke yang kini mengangkat bahunya seolah Ia tidak tahu apapun. “Lihat, ada resletingnya.” Fluke menggerakkan tangannya di depan mulut, membuat gestur seolah-olah Ia sedang menutup resleting. “Well, I guess Force is the luckiest guy for being your first love.

Mix mengangguk setuju kemudian mengalihkan pandangannya kembali pada film yang masih berputar.

Fluke masih tertawa kecil, memperhatikan Book yang wajahnya masih terlihat bingung. Ia mendekatkan wajahnya, lalu mendorong pelam dahi Book dengan telunjuknya. “Enggak usah terlalu dipikirin, lah. Jatuh cinta itu bukan perkara yang besar. Just let it flow, love takes time. Jodoh enggak akan kemana.”

Book menghela nafas panjang kemudian mengangguk sebelum menoleh ke arah Fluke, menatap sahabatnya itu dengan penuh tanda tanya.

“Fluke jago banget, deh. Emangnya pernah jatuh cinta?”

“Ya pernah lah, emangnya lo. Lo tuh juga masih bayi kok udah cinta-cintaan.”

“Jelek!”


Niat hati ingin berkeliling supaya semakin yakin untuk bergabung dengan klub teater kebanggaan kampus, tetapi seorang pemuda bernama Book Kasidet justru mematung di hadapan sang kakak tingkat yang sibuk bermesraan dengan koor talent.

'Dunia milik berdua, yang lain ngontrak,' batin Book. Bibirnya sudah maju satu senti, tetapi dua sejoli di hadapannya total melupakan soal eksistensi sang adik tingkat.

Sepasang matanya melirik kesana-kemari, berharap jika Fluke cepat datang menghampiri. Sebenarnya, Ia bisa saja menegur Kak Gun dan Kak Jumpol. Namun, entah mengapa rasanya tidak enak. Dilihat-lihat, interaksi dua sejoli ini sangat menggemaskan walaupun dirinya kini kebingungan setengah mati tentang hal apa yang harus dia lakukan.

Di tengah kebingungannya, tiba-tiba sepasang tangan menyentuh kedua bahunya. Book sedikit terlonjak dan lekas berbalik, siap untuk memarahi sosok yang mengejutkannya itu. Pasti itu Fluke Pusit!

Namun, rentetan kalimat yang akan dilontarkannya mendadak tertelan begitu saja ketika Ia mendapati eksistensi orang yang cukup asing baginya tengah tersenyum ramah.

“Eh, maaf. Kaget, ya?”

Book nyaris tidak berkedip. Lelaki itu, senyumnya, senyumnya pasti akan selalu mampir di setiap mimpi Book. Entah siang atau malam. Tampan. Tampan sekali. Ia terdiam, sibuk memuja dalam hati. Apalagi ketika melihat lelaki itu terbalut kemeja putih yang lengannya digulung hingga siku.

Tangan lelaki itu melambai di depan wajahnya, “Halo?”

Seolah ditarik kembali pada kenyataan, Book buru-buru berkedip dan mengangguk dengan canggung. “Halo…”

Lelaki itu tertawa.

Tuhan. Apakah lelaki ini merupakan seorang pangeran yang datang dari atas langit? Book mengepalkan tangannya, berusaha untuk menulikan telinganya dari alunan tawa lelaki itu. Tawanya mengundang euforia dalam tubuh Book, membuatnya ingin tertawa karena ikut bahagia dan menangis karena terlalu terpesona.

“Lucu banget. Maaf ya, tadi bikin kaget. Gue Force Jiratchapong, asisten sutradara Rhetorical. Gue denger dari Kak Atthaphan kalau lo mau keliling klub,” ujarnya seraya melirik ke arah sofa yang terdapat di sudut ruangan. “Tapi, kayaknya dia enggak bisa nemenin lo keliling karena sibuk memadu kasih. Jadi, gue aja yang temenin, ya?”

Book menggigit pipi bagian dalamnya. Mencoba untuk tidak terlalu terlihat salah tingkah, walaupun begitulah kenyataannya. Padahal lelaki bernama Force itu hanya menyapa dan mengajaknya dengan ramah.

“Boleh… Kalau enggak ngerepotin.” Ucap Book dengan suara yang nyaris seperti bisikan, untung saja ruang klub teater tidak terlalu ramai sehingga Force masih bisa mendengar suara calon anak emas Rhetorical itu.

“Sama sekali enggak,” sahut Force dengan cepat. Tangannya terjulur ke depan, meminta sambutan dari lawan bicaranya. “Kayaknya kurang kalau belum jabat tangan. Kenalin lagi, gue Force Jiratchapong.”

Dengan perasaan campur aduk, Book menyambut uluran tangan Force dan jantungnya bertalu-talu dengan cepat ketika lelaki itu menggenggam tangannya dengan erat. Padahal hanya sekadar jabat tangan, bukan yang benar-benar saling menggenggam.

“Book Kasidet, dari prodi Bahasa Inggris. Temannya Fluke Pusit.” Ujar Book dengan cepat supaya mereka tidak terlalu lama berjabat tangan.

Force tertawa, lagi.

Tuhan, bisakah Engkau buat makhluk ciptaan-Mu yang satu ini berhenti tertawa untuk sejenak. Sungguh tawanya membuat dunia Book seolah berputar layaknya Roller Coaster.

“Kalau kata Pusit, lo itu yang si paling lucu, ya? Beneran lucu ternyata.” Ucap Force. Entah betulan atau hanya basa-basi. Sel otak Book seolah berhenti bekerja selama beberapa saat. “Yuk, gue temenin keliling sekarang. Bentar lagi konsum makan siang datang. Nanti kita makan bareng.”

Entah Book harus protes pada Kak Gun nanti karena kakak tingkatnya itu sibuk bermesraan dengan sang kekasih atau justru dirinya harus mengucapkan terimakasih karena telah dipertemukan oleh Force.