PROLOG.
“Putus aja, yuk?”
“H-hah?”
Seorang wira dengan kacamata yang menggantung di hidungnya itu terbelalak, menatap sosok di hadapannya dengan tidak percaya. Genggaman tangannya pada kaleng cappuccino latte menguat, seolah-olah ingin menghancurkan benda tak bernyawa itu.
Secercah candaan dan tatapan penuh tipu daya dicarinya dengan teliti, tetapi yang didapati olehnya hanyalah kebenaran. Bahwa lelaki yang sedang bertukar tatap dengannya itu bersungguh-sungguh. Tidak ada setitik keraguan yang dapat ditemukan di sepasang mata serupa rubah tersebut.
“Kamu capek nggak, sih? Kita kayak gini terus, nggak ada solusinya. Yang jadi imbasnya selalu performa kita di atas panggung. Terus nanti dijadiin alasan buat berantem lagi.”
Lelaki berkacamata itu mati-matian menahan tangisnya ketika sang lawan bicara berkata tanpa getaran sedikitpun di suaranya. Tidak adil. Dirinya sudah berada di ambang batas ingin mengacak-acak seisi dunia, sementara lelaki itu menatapnya seolah tanpa beban.
Ia ingin sekali menendang meja yang menjadi pembatas di antara keduanya dan melempar kaleng cappuccino kosong ke arah kepala lelaki yang sedang berhadapan dengannya. Nafasnya berubah menjadi tidak beraturan dan air mata telah menggenang di pelupuk. Ribuan umpatan dan makian telah menggantung di ujung lidah.
“Ya udah kalau itu yang terbaik.”
Dusta. Dusta besar.
Yang duduk di seberangnya menghela nafas lega, terdengar begitu menyakitkan di telinga karena Ia pikir, berada di dalam hubungan dengannya membuat lelaki itu tersiksa. Hal itu sekaligus menginjak-injak egonya yang telah terkoyak habis sejak mereka memulai percakapan di sudut kafetaria.
“Thank you for this past year, ya. I hope we'll be better. No hard feelings between us, ya, Aci.”
Nyatanya, mulai detik itu hingga detik selanjutnya dalam tiap langkah kehidupan Aci, dadanya selalu sesak ketika merasakan eksistensi Jirat di sekitarnya.
© greatesturn