“Would you kiss it better?”

“Hehe.”

“Bisa diam, nggak?” Book mengangkat tangan kanannya, menunjukkan gestur ingin melayangkan sebuah pukulan di wajah lelaki yang berada di hadapannya—yang tengah tertawa seperti tanpa dosa.

Bungkusan kecil yang sedari tadi berada di dalam genggaman Book kini berpindah di sebelah Force, sengaja dilempar meleset karena sebenarnya, Book masih punya hati untuk tidak menambah memar di tubuh kekasihnya itu.

“Mana, katanya cuman dikit?!” Book berseru ketika Ia melangkah mendekat dan menyadari memar biru keunguan di sudut bibir lelaki yang tubuhnya tampak lebih besar dibandingkan dengan dirinya.

Senyum lebar tanpa dosa itu masih setia bertengger di wajah Force sementara Book sibuk mengomel setiap kali sepasang matanya menangkap memar yang terdapat di tubuh Force. Pada detik selanjutnya, Ia menghela napas dengan panjang seraya memejamkan matanya, berusaha untuk mengumpulkan kewarasan yang masih tersisa sebelum kemarahannya meledak dan Ia akan benar-benar melayangkan sebuah pukulan di wajah Force.

“Kamu tuh kenapa, ya,” gumam Book seraya duduk di sebelah Force. Dahinya mengerut dan alisnya menukik tajam sementara bibirnya maju satu senti, tidak berusaha sedikitpun untuk menyembunyikan wajah marahnya. “Selalu aja sok jagoan.”

“Loh, aku memang jagoan.”

Satu lapis kesabaran Book habis, Ia membawa jari telunjuknya untuk menekan memar di lengan Force dan membuat lelaki itu mengaduh kesakitan karena kekasihnya tidak main-main. Nyaris mengumpat, tetapi akhirnya memutuskan untuk merengek manja seolah meminta pengampunan.

“Malas, deh, aku ngomong sama kamu.” Bibirnya melengkung ke bawah dan punggungnya disandarkan ke sofa. Sesekali melirik Force yang masih menunjukkan wajah tanpa dosa, kali ini ditambah dengan wajah penuh permohonan ampun.

Namun, pada detik selanjutnya, perbuatan Book berbanding terbalik dengan ekspresi wajah dan apa yang diucapkannya barusan. Sepasang lengannya melingkar di pinggang Force dan dahinya disandarkan pada bahu lelaki itu.

Force diam-diam tersenyum menang, seratus persen tahu jika Book tidak akan pernah benar-benar marah dengannya. Tangannya bergerak untuk mengelus helaian rambut Book dengan lembut sebelum Ia berkata, “Sekarang aku 'kan nggak kenapa-kenapa.”

“It was very dangerous, you could get hurt!”

“Iya, sayang, iya. Maaf, ya? Janji nggak akan diulangi lagi.”

Force tertawa ketika merasakan pelukan di pinggangnya mengerat dan Book menyembunyikan wajahnya di balik bahu Force. Dipanggil dengan lembut seperti itu merupakan kelemahan terbesarnya. Walaupun sudah tidak terhitung berapa kali Force melempar perkataan manis dengan suara yang terdengar lembut, sikap salah tingkah Book juga tidak dapat terhitung alias tidak pernah hilang.

“Udah diobatin, belum?”

“Sudah, sayang,” Force menyahut bersamaan dengan senyum yang mengembang di wajahnya ketika Book menaruh dagunya di atas bahu Force. “Would you kiss it better?”

Wira yang lebih tua beberapa bulan itu memutar bola matanya dengan malas, pertanyaan yang terdengar seperti sebuah rayuan manis itu sudah pasti akan keluar dari bilah bibir kekasihnya yang sok jagoan itu. Satu umpatan yang tidak terdengar begitu kasar lolos dari bibirnya, perasaannya terbagi antara kasihan dan jengkel.

Namun, pada akhirnya, Book menyerah dan mendaratkan satu kecupan di bahu Force yang terbuka karena memakai kaos tanpa lengan. Kemudian satu kecupan bertambah lebih banyak, tidak hanya mendarat di bahu, tetapi juga di lengan Force yang turut terdapat memar berwarna biru keunguan.

“Gila ya kamu, lain kali jangan diulangi.” Ucap Book dengan penuh penekanan, sepasang matanya melebar dengan kilatan penuh ancaman, tetapi Force justru terkekeh pelan karena baginya, Book sangat menggemaskan. Lucu.

Entah apa yang mampir di pikiran Book saat itu, otaknya memproses instruksi impulsif yang kemudian dituruti oleh alat gerak aktif tubuhnya. Ia berpindah dari sisi Force ke atas pangkuannya, masih dengan wajah jengkel dan sepasang alis yang menukik tajam, Book menangkup wajah lelakinya untuk kemudian mempertemukan bibir mereka dan membawanya dalam satu ciuman lembut yang cukup panjang.

Sepasang lengan Force melingkar secara otomatis pada pinggang Book tanpa diberi perintah, menariknya mendekat ketika yang berada di pangkuan kini tengah sibuk mengerjai bibir bagian bawahnya. Diam-diam, Force tertawa ketika menyadari jika setiap kali keduanya bercumbu, Book selalu menguasai bibir bagian bawahnya. Lelaki itu sangat kompetitif jika berbicara tentang sebuah ciuman.

“You're indeed such a good kisser,” bisik Force di sela-sela sesi ciuman keduanya.

Ucapan itu layaknya sebuah peringatan bagi Book. Sebelum egonya meminta lebih jauh, Book berinisiatif untuk mengakhiri ciuman dengan mengecup sudut bibir Force yang turut diwarnai oleh memar akibat terjatuh. Wajahnya dibawa sedikit menjauh sebelum jemarinya mengelus setiap jengkal wajah Force dengan lembut, memuja paras kekasihnya dalam diam walaupun sepasang matanya tidak dapat menyembunyikan betapa dalamnya Ia tenggelam oleh afeksi dan rasa sayang.

“Kalau kamu sayang sama aku, mending berhenti bertingkah sok jagoan.”

Ternyata sesi mengomelnya masih berlanjut. Force hanya tertawa pelan dan mengangguk, mendengarkan ocehan Book dengan seksama tanpa menjeda sedikitpun. Membiarkan lelaki yang Ia sayangi itu mengekspresikan kekhawatiran dan kepeduliannya.

Because no matter how hurt it is, his man would always be willing to kiss it and make it better.


©greatesturn