Written in Bahasa Indonesia and English (for the explicit scene). Tags: NSFW, dom-sub undertone, DDLB relationship, light BDSM, bareback.
Theo menghela nafas dengan panjang untuk yang kesekian kalinya. Bibirnya maju dan dahinya mengerut, seolah-olah ingin memberi tahu satu dunia jika dirinya sedang kesal bukan kepalang. Sesekali sepasang kaki jenjang itu menendang kesana kemari, sengaja meniru cara bocah balita yang sedang tantrum karena permintaannya tidak dituruti.
Ucapan Cher, saudara kembarnya, berputar di dalam kepalanya seperti kaset rusak yang tidak tahu cara berputar searah. “Mending kamu temani aku bermain game daripada menunggu sugar daddy yang tidak tahu kapan pulangnya.” Begitulah ucapan Cher tadi pagi. Theo jengkel ketika mengingatnya, bukan karena tersinggung, tetapi karena ucapan Cher itu benar.
Dua botol soda kosong yang dia minum tadi tergeletak mengenaskan begitu saja di sekitaran sofa tempatnya berbaring dengan asal-asalan. Nyaris menjerit ketika mendapatkan notifikasi uang yang masuk ke rekeningnya sebesar lima juta rupiah lengkap dengan catatan 'Treat yourself with the most delicious sushi in this town'. Nyaris saja ponsel mahalnya itu dibanting ke lantai karena yang diharapkan adalah balasan di ruang obrolan, bukan uang dengan catatan seperti itu.
Theo tidak habis pikir mengapa sugar daddy-nya itu seperti sangat percaya dengannya. Apartemen mewah yang sedang diacak-acak olehnya saat ini merupakan apartemen pribadi milik lelaki yang kini menjadi sumber penghasilan utama Theo. Bahkan, salah satu mobil mahal dan kartu kredit diberikan begitu saja kepadanya. Padahal bisa saja Theo kabur dan menghilang tanpa jejak, tetapi bahkan Theo tidak pernah berpikir seperti itu.
Kisah pertemuan mereka tidak penting untuk saat ini, ceritanya tidak begitu panjang, tetapi penuh dengan plot twist. Terima kasih untuk Cher karena telah berkontribusi banyak dalam rumitnya kisah hidup Theo. Entah apa yang dilakukan Theo dalam kehidupan sebelumnya hingga Ia harus berbagi wajah dan hidup dengan Cher yang sangat bertolak belakang dengannya. Setidaknya, eksistensi Cher membuat kehidupan Theo menjadi lebih sempurna.
Kecuali mungkin saat ini, seharusnya Ia menuruti perkataan saudara kembarnya untuk bersantai di rumah seraya bermain game sebelum mengumpat dan meneriaki satu sama lain sampai harus ditegur oleh tetangga karena mereka sangat berisik, bukannya berbaring seperti mayat hidup yang waktunya direnggut oleh kebosanan dan sesekali berteriak kesal karena pesannya tidak dibalas, tetapi tidak ada tetangga yang menegurnya karena apartemen ini terlalu besar dan mewah.
Theo memutar otak, mencari cara untuk menarik perhatian lelaki yang kini mungkin tengah sibuk berkutat dengan pekerjaan dibandingkan meluangkan dua menit waktunya untuk berbalas pesan Theo. Kemudian senyuman lebar menghampiri wajahnya ketika Ia berhasil memikirkan satu cara yang mungkin ampuh.
Sepasang kakinya dibawa berlari menuju ke arah kamar sang pemilik apartemen, pintu lemarinya dibuka lebar-lebar sebelum Theo mengambil salah satu kemeja putih yang jelas saja akan kebesaran ketika digunakan di badannya. Lekas Ia tanggalkan sweater berwarna merah dan celana jeans panjang yang tengah dikenakan, menyisakan celana super pendek, sebelum kemeja putih dengan merk mahal itu dikenakan.
Theo mematut dirinya di hadapan cermin, tiga buah kancing teratas kemeja itu dibuka sementara kedua tangannya bergerak untuk mengacak-acak rambutnya sendiri. Ponsel yang tadinya tergeletak mengenaskan bersama celana jeans di atas lantai itu kini diraihnya, Theo membuka kamera dan memotret pantulan dirinya di cermin. Ia harus meminta pendapat Cher sebelum mengirimkannya kepada target utama.
Theo butuh validasi. Cher biasanya selalu menjadi orang pertama yang memvalidasi perasaan dan hal apapun yang dilakukan Theo. Walaupun Theo harus menahan untuk tidak melempar bantalnya ke wajah Cher karena saudara kembarnya itu pasti akan memanfaatkan tiap detik untuk menjahilinya.
“Cantik, Theo. Kembaranku, sih, udah pasti cakepnya nular dari aku.”
Kan. Persis seperti apa yang dipikirkan oleh Theo. Sepasang matanya berputar dengan malas, tetapi sebuah senyum hinggap di wajahnya sebelum Ia mengetikkan balasan untuk Cher. Berupa satu kata umpatan (yang tidak kasar) dan kata terima kasih. Tentu saja Theo akan berterima kasih pada siapapun yang memberi makan egonya.
Tanpa berpikir dua kali, foto-foto yang diambilnya tadi lekas dikirim ke ruang obrolan sang pemilik apartemen, sugar daddy kesayangannya. Mengharapkan satu paragraf berisikan kalimat penuh pujian atau mungkin umpatan, Theo tidak peduli, apapun itu yang dapat memvalidasi perasaannya. Theo feels pretty today.
Tadinya, Theo berpikir jika Ia perlu menunggu satu jam lagi untuk mendapatkan balasan dari lelaki itu, tetapi ternyata kurang dari sepuluh menit setelahnya, notifikasi dari ponsel Theo berbunyi.
Detik itu, Theo benar-benar menjerit frustrasi karena yang diterimanya bukanlah rentetan paragraf penuh pujian melainkan tambahan lima juta lagi masuk ke rekeningnya. Kali ini, Theo benar-benar melempar ponselnya. Untung saja permukaan lantai kamar sugar daddy-nya itu dilapisi oleh karpet tebal sehingga ponselnya tidak hancur berkeping-keping. Jika ini adalah dunia kartun, maka di sudut dahi Theo akan terdapat tiga siku-siku yang saling bersinggungan untuk menjelaskan seberapa marahnya Theo saat ini.
Setelah mati-matian mencoba untuk meredakan rasa kesalnya yang terasa membakar kepala itu, Theo kembali meraih ponselnya untuk mengetik dua kalimat yang tiba-tiba terlintas di dalam pikirannya. Kali ini, Theo tidak meminta pendapat Cher atau memikirkannya seribu kali. Ia hanya kesal dan ingin sugar daddy-nya itu tahu jika Ia sangat kesal.
“Definitely not the kind of something that I want to have at this moment. It must be more fun if I start to touch myself.”
Oh, what a terribly good choice that you made, Theo.
Theo kembali menyibukkan dirinya bermalas-malasan di atas sofa beludru berwarna abu-abu gelap, sengaja membiarkan keadaan di sekitarnya berantakan tak beraturan. Bahkan kemeja putih kebesaran itu masih dikenakannya. Bertahun-tahun dirinya hidup bersama egonya yang selalu diberi makan oleh saudara kembarnya sendiri, baru kali ini rasa akan haus validasinya ditolak mentah-mentah.
Buruknya, ditolak mentah-mentah oleh orang yang sengaja Theo cari untuk memberi makan egonya karena Ia sudah cukup tak enak hati untuk terus-terusan menerima validasi dari Cher. Theo ingin validasi dari sosok yang lebih dewasa, dari sosok yang mungkin kecil kemungkinannya akan membuat egonya kenyang. Nyatanya semua hal itu hanyalah angan-angan Theo karena orang dewasa mana yang sudi membasahi rasa dahaga akan validasi milik lelaki berusia 21 tahun yang sama besarnya seperti anak remaja berusia 12 tahun?
Mungkin perjanjian yang mereka buat di awal terlalu samar. Kata-kata ‘saling memuaskan satu sama lain’ mungkin hanya berlaku sebatas sentuhan hangat ketika mereka sedang lelah atau ciuman panas ketika keduanya sedang mabuk. Atau mungkin hanya berlaku sebatas Theo yang menggodanya di penghujung hari sebelum rekeningnya menerima uang berjumlah jutaan secara cuma-cuma dalam satu kali transfer. Kesepakatan itu mungkin tidak berlaku untuk menyurutkan dahaga Theo akan validasi.
Gila.
Sepertinya Theo sudah gila.
Sudah dua puluh menit berlalu dan Theo belum mendapatkan balasan apapun. Ia sedikit berharap jika lelaki yang lebih tua darinya itu sedikit marah supaya dirinya menjadi sedikit lebih tahu diri. Dalam hati, Theo memutuskan untuk meninggalkan apartemen mewah ini jika tidak ada balasan dalam lima menit ke depan.
Sayangnya, ketika Theo hendak beranjak dari duduknya dengan lemas—kepalanya sedikit pusing, efek dari terlalu banyak bermalas-malasan dan emosi dalam waktu singkat—tiba-tiba saja, pintu apartemen terbuka dengan sedikit kasar. Theo nyaris melonjak dari sofa dan lekas menoleh ke arah pintu, mendapati sosok lelaki pemilik apartemen itu tengah berjalan ke arahnya dengan pelan. Theo menelan air liurnya dengan gugup, pakaian lelaki itu masih rapi dan sempurna, tetapi wajahnya terlihat kusut.
Apakah ini saatnya untuk memuji Gungawin yang terlihat begitu seksi dengan pakaiannya yang terlihat begitu ketat karena tubuhnya yang terlampau atletis?
Theo perlahan menggelengkan kepalanya sendiri, mengusir pikiran kotornya yang hinggap sejenak sebelum Ia berdiri tepat ketika Gungawin—si sugar daddy yang sejak tadi namanya digumamkan oleh Theo dengan penuh kekesalan—telah sampai di hadapannya.
“H-hai? You came earlier than expected.”
Salah satu alis Gungawin naik ketika Theo menyapanya. Theo ingin sekali melompat keluar lewat jendela karena dirinya mendadak kikuk dan bodoh. Mendadak, Ia merasa seperti sedang ditelanjangi ketika sepasang mata Gungawin bergerak untuk menatapnya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Baru sadar jika Ia masih mengenakan kemeja putih kebesaran milik Gungawin tanpa bawahan selain celana pendeknya yang ketat itu.
“Is there—”
“Did you just finish touching yourself before I arrived?” tanya Gungawin seraya menaruh tasnya dengan asal, sedikit menghela nafasnya ketika melihat keadaan ruang tengah yang berantakan. Hampir semua bantal sofa telah berpindah ke lantai, beberapa kaleng soda berceceran, dan sweater merah serta celana jeans yang tadi Theo kenakan.
Theo membelalakkan matanya, tangannya terasa ingin bergerak untuk menampar wajahnya sendiri ketika mengingat pesan apa yang dikirimkan ke Gungawin sekitar dua puluh menit yang lalu. “Apa? Aku nggak ngapa-ngapain,” sahut Theo dengan suara yang dibuat setenang mungkin, seolah-olah dirinya tidak mengetahui apapun.
“You said that it will be more fun if you start to touch yourself, huh?” Gungawin sedikit menaikkan nada bicaranya dan Theo mendadak gemetar. Partly because of fear, but the rest is because something arouses him, it’s weird. Gungawin mengambil satu langkah mendekat untuk menghapus jarak di antara keduanya, tetapi Theo juga mengambil satu langkah mundur karena merasa terintimidasi. “You made my place like a total mess, yet you haven’t done anything yet? Biar apa kirim pesan kayak gitu ke saya?”
Jika boleh memilih, Theo ingin sekali pura-pura pingsan lalu bangun dengan ingatannya yang hilang sebagian. Gungawin tidak pernah seperti ini sebelumnya. Theo itu pandai, terlampau lihai untuk membaca dan menghafal intensi seseorang melalui gerak-gerik serta ucapannya. Menurut Theo, Gungawin itu orang kedua yang mudah ditebak setelah Cher karena kehidupan dan kebiasaannya yang begitu-begitu saja, terkesan monoton. Namun, kali ini entah siapa yang berada di hadapannya karena sikap Gungawin yang seperti itu belum pernah terdaftar di laci-laci imajiner di dalam memorinya.
Sayangnya, Theo bukanlah seseorang yang dengan mudahnya mengalah dan mengambil langkah mundur. Maka Ia beranikan untuk kembali pada posisi sebelumnya, melangkah maju dan menghapus banyak jarak di antara keduanya. Dengan berani, Theo balas tatapan Gungawin yang terasa tepat menghunusnya. Sepasang tangannya bergerak untuk mengendurkan dasi yang melingkar dengan kaku di kerah kemeja Gungawin. Gerakannya begitu perlahan bersamaan dengan napasnya yang tertahan.
“Playing with myself for another five million?” Ucap Theo dengan nada yang sedikit sarkastik. Saudara kembarnya pernah protes jika nadanya yang seperti itu terdengar sangat menyebalkan, tetapi lelaki yang berada di hadapannya ini justru berkata jika nada sarkastiknya itu terdengar menggoda. “Do you think that your presence is only worth five million? You’re too kind, daddy.”
Setelah berhasil melepas dasi dari kemeja yang dikenakan Gungawin, tangannya kini beralih untuk membuka dua kancing teratasnya. Theo diam-diam tersenyum ketika lelaki yang lebih tua darinya itu kini seolah terdiam seribu bahasa. Sepasang lengannya kini dibawa untuk melingkar di leher yang lebih tua, menggantikan posisi dasi yang mencekik entah dari beberapa jam yang lalu. Theo terkekeh pelan sebelum berbisik tepat di telinga Gungawin, “Will it be a problem if I say, aku nggak butuh uang dari daddy. Did you really feel nothing when looking at me like this? Aku nggak cantik, ya?”
Salah satu lengan Gungawin melingkar di pinggang ramping Theo, merengkuhnya dengan erat seolah lelaki itu akan hilang jika lepas dari pandangannya dalam satu detik. Tanpa disadari, tangannya yang lain berpindah ke rahang Theo begitu saja, membuat jantungnya berdegup kencang karena terkejut sebelum Ia meringis pelan. Tangan Gungawin itu kekar, salah satu hal yang Theo suka darinya, dan kini tengah digunakan untuk mencengkram rahangnya dengan kuat.
“I ditched my work because of you,” cengkramannya semakin keras, membuat ruang bernapas Theo terasa menyempit. “Didn’t I tell you before that I don’t like it whenever someone gets in my way when I’m working? Kamu nggak sabaran banget ya jadi orang.”
Theo bingung bagaimana bisa suara dengan nada rendah yang terkesan tenang itu seperti sedang mengoyaknya hidup-hidup. Sepasang matanya mulai berair dan kabur karena pasokan oksigennya yang semakin menipis, mulutnya seolah terkunci dengan rapat karena Ia tidak bisa mengeluarkan sepatah katapun bahkan hanya untuk sekadar memohon ampun. Yet something weird definitely happens to him since he’s now completely aroused rather than dying in fear because the grip on his jaws, near his neck, is tightened and could possibly make him pass out.
Gungawin melepaskan cengkraman tangannya pada rahang Theo sebelum mendorong bahunya dengan pelan—sangat pelan, tetapi Theo langsung kehilangan keseimbangannya dan terjatuh di atas sofa. Dadanya naik turun, sibuk meraup oksigen dengan rakus sementara wajahnya memerah sempurna.
“Funny how you’re turned on because I’m mad at you right now,” ucap Gungawin dengan nada yang sedikit merendahkan. Jika saja Theo sedang tidak kehabisan oksigen seperti ini, pasti rentetan omelan akan keluar dari bibirnya karena Theo paling tidak suka direndahkan seperti itu. Theo tidak suka jika ada orang yang dengan sengaja memosisikan diri mereka di atas Theo. Namun, yang berada di hadapannya saat ini adalah Gungawin. Apa yang bisa Theo lakukan selain diam?
Gungawin melepas jas mahal yang dikenakannya, diletakkan di atas sofa yang berseberangan dengan tempat Theo saat ini, lowkey doesn’t want his expensive suit to get ruined by the mess that Theo created before he arrived. “You made me ditched my work,” ulang Gungawin seolah mempertegas mengapa Theo berhak mendapatkan jejak kemerahan akibat cengkraman tangan di rahangnya. “You said that it will be more fun if you start to touch yourself rather than appreciating the gift that I gave to you. Tapi, buktinya kamu bahkan nggak lakuin apapun selain bikin apartemen saya berantakan. You’re such a liar.”
“I’m not!”
Akhirnya Theo bersuara, membalas perkataan Gungawin dengan nada tinggi. Pandangan lelaki di hadapannya itu sudah menggelap sejak tadi, tetapi saat ini sepasang mata Theo seolah menyala karena egonya yang terbakar tiada henti, menunggu untuk meledak. “Semua gara-gara daddy, soalnya—”
“Your daddy didn’t give you permission to speak, little slut.”
Harusnya Theo marah karena harga dirinya terasa diinjak dalam sekejap atau harusnya Ia memberikan satu tamparan di wajah Gungawin ketika kalimat itu keluar dari bibirnya, tetapi pada kenyataannya, justru Theo kembali terdiam. Sepasang tangannya mengepal dengan erat, kepalanya perlahan menunduk, menghindari sepasang mata Gungawin yang sejak tadi ditatapnya seolah menantang. He doesn’t think that it’s an appropriate time for his dick to twitch after being called a slut earlier.
Gungawin menyeringai tipis sebelum membuka sabuk yang melingkar di pinggangnya. “Berbalik. Get on your knees.” Ucapan itu bagaikan mantra bagi Theo yang kini dengan patuhnya menumpukan berat tubuh pada sepasang lututnya, berbalik membelakangi Gungawin sementara kedua tangannya dengan refleks menggenggam sandaran sofa dengan erat. “Remember our safe word, little prince?”
Theo mengangguk pelan, membiarkan Gungawin mengelus pucuk kepalanya dengan lembut. “Eclair for a no, butter for a pause, and cookie for continue.”
“Good boy,” bisik Gungawin sebelum mendaratkan satu kecupan di pucuk kepala Theo. “You’re not a little prince to me today. You were acting like a brat earlier, I don’t like it. Nakal. Saya nggak kasih kamu izin buat pakai baju saya. Kamu bahkan nggak pakai uangnya buat beli sushi kayak yang saya suruh. That was such a slut behavior. Kamu kayak gitu tadi ke semua orang?”
Theo menggeleng dengan cepat, suaranya sedikit tercekat di tenggorokan bersamaan dengan hasratnya yang telah naik ke atas kepala, merebut akal sehatnya secara perlahan. “No, daddy. It was only you, I promise.”
“Prove it, then.” Gungawin whips his belt into the empty space beside Theo, making the younger one flinch before moving his other hand to take Theo’s tight short off. Leaving him with nothing on his lower body. “Don’t lose count, or I will repeat it over and over again. Don’t forget your safe words.”
And with only a little nod from Theo, Gungawin starts to move the belt on his hands, letting the thing that was made of solid leather hit against Theo’s skin. Theo almost forgets to count as he feels the burning sensation on his skin; it is hurtful yet arousing. He starts to count every time the leather belt touches his skin, leaving red marks on his bum. He clenches his fist while sobbing in between, almost unable to continue after the fifth count since the room is only filled by his whimpers and the noises that the leather belt against the skin makes.
“Good boy,” suara Gungawin menyapa indera pendengaran Theo, membuatnya tersenyum tipis di tengah kulitnya yang terasa terbakar. Lelaki yang lebih tua mendekat untuk menghampirinya sebelum memindahkan tangannya, memberikan elusan lembut di sekitar pinggang dan pantat Theo. “Your words?”
“Cookie,” jawab Theo tanpa berpikir panjang. Ia dapat merasakan Gungawin menyeringai di belakangnya sebelum membiarkan lelaki itu memberikan kecupan di sekujur leher dan bahunya.
And by that moment, Theo suddenly realizes that no matter how hard he tries to put his pride over everything and make people willingly feed his ego, Gungawin will always be the one who makes him fall to his own knees and begs for mercy, yet asks the older one not to stop.
Back then, Theo would throw a punch at someone who had the audacity to put their hands on him when he got on the dance floor. But ever since he met Gungawin, he has done anything to get on the dance floor and is constantly asking for validation. Theo was never satisfied with “You did well.” But Gungawin definitely makes him want to worship the older one; even a tiny glance from that man will turn him into an abyss of weaknesses.
Little did he know that Gungawin was also the one who willingly worshipped Theo. For him, Theo is the epitome of beauty—the son of Aphrodite. Perfectly sculpted by God, with not a single drop of flaws. His face, his body, his personality, the way he speaks, and the way he behaves will always mesmerize Gungawin.
Gungawin knows how Theo is always craving both attention and validation. He is greedy and sometimes full of himself. But when Gungawin realizes that he has and can easily take control over Theo, he makes the younger one shamelessly beg on his knees and consciously say the nastiest thing that might hurt his own pride. Gungawin never regrets his encounter with Theo.
He was taken aback for a moment before he threw his belt and gently pulled Theo's arms, telling him to turn around. “Look at me.”
Without the second command, Theo turns around. He leans his back comfortably on the backrest, and his cheeks blush as he realizes that from this angle, he can completely witness whatever Gungawin will do to him. He voices not a single disagreement as Gungawin bends his legs and parts them apart, fully showing the lower parts of his body to the older one.
Gungawin folds his sleeves up, and Theo swears that what his eyes just witnessed was the hottest thing that he saw for his entire life. He wouldn't mind if Gungawin would only watch him spread his legs, although he desperately needs to be touched.
“Look at your little cock.” Gungawin flashes a cheeky grin. It does hurt Theo's pride, but it's not important at all. “He's so desperate. You're so desperate, aren't you? Nobody has touched your cock yet, not even yourself, but he's already leaking everywhere. Whore.”
Theo whimpers, unable to talk back, and tries his best to avoid Gungawin's gaze, which could possibly force him to come untouched. Seeing how tormented Theo is, Gungawin pulls a smirk from his face. He lowers his body to look into the younger man's eyes before he places some kisses on his thighs without breaking eye contact. He feels satisfied to see how Theo's cock reacts to his act.
“Tell me what I should do to you for being such a needy whore.” Gungawin takes a few steps back, arms crossed in front of his chest.
Feeling desperate, Theo needs to be devoured and ruined. He sobs frustratingly while spreading his legs wider and showing Gungawin his teary eyes that are full of lust. “Daddy, please. I need you to ruin me. I need your cock inside me. I beg you, Daddy, please.”
To say such things truly destroys Theo's pride. It feels like the darkened gaze of Gungawin tears him out. His mind goes completely blank, but full of the thoughts of Gungawin fucks him until he's unable to remember his own name.
“Good boy. You listen to your daddy so well.” Gungawin leans closer and caresses Theo's hair softly before he places a kiss on the younger man's forehead. “I will not go back once I start it, okay? So, think carefully about your words now. I promise I won't cross the line.”
“Cookie.”
“And what about—”
“Raw.”
Gungawin chuckles, and it really turns Theo on. It sounds weird, but he looks hot. Theo's face turns red as the older one takes his pants off, and the thing between his legs almost makes Theo drool. He's a little hesitant because he can't determine whether it will fit inside him or not.
There was one day where Theo confessed that he prefers Gungawin to keep his shirt or suit whenever they fuck because it makes Theo feel small and it makes Theo lose his mind. So, Gungawin decides to keep his shirt on as he scoots closer and presses Theo's legs to his chest, making his body almost bent in half.
Theo almost lets out a scream as he decides to bite his own fingers as Gungawin starts to thrust his cock inside him. He whimpers while clenching his own fist, still trying to protect his own pride, before Gungawin pulls his hips closer, making his cock go deeper inside while he puts his fingers inside Theo's mouth to replace the younger man's fingers.
“Your little mouth needs to take something inside, isn't it?” He pulls a little smile on his face as Theo takes his fingers inside his mouth, sucking on them without complaining. “You're so happy, aren't you? What a whore you are.”
Gungawin mesmerizes at how both Theo's mouth and hole clamp the things inside them as he spat out those words; it works like a magic spell. If it happened in their daily lives, Theo would be mad, and Gungawin would have to buy him an expensive bag from a well-known designer as a form of reconciliation. But in this situation, Gungawin needs to do nothing but move his hips against Theo, thrusting his cock deeper until the younger one loses his mind.
What Gungawin witnesses this time is truly the most beautiful yet erotic thing that he has ever seen. The way Theo's eyes roll back whenever his cock hits his prostate and how his face is wet from sweat, tears, and drools. If only Gungawin can find a way to capture this moment, turning it into a painting that he will treasure for his whole life.
Being sexually active and spending his money on someone never once crossed his mind, but when he met Theo, it felt like something awakened him. The idea of having Theo under his command and getting him to beg even for a little touch is pulling the demon inside him, or at least that's what he thinks about himself all the time.
Theo's moans are always his favorite melody, insisting that his cock keep pounding harder inside, ruining him. The moment Gungawin pulls his fingers out, Theo lets his moans out. The older man was quite hesitant that he might hurt the younger one, but what Theo says after that is such a heavenly chant to him.
“Daddy, daddy, please. Deeper, ahh!”
Without a second thought, Gungawin pulls Theo's hips closer against his own, making the younger man arch his back as his eyes shut. It was like a cue for Gungawin to go rough, showing him no mercy. He flashes a smile as he sees a bulge on the lower part of Theo's stomach, along with his scream.
“Good boy. You take Daddy's cock so well. It perfectly fits inside you.” Gungawin gives Theo the softest pats on his head, quite contrary to his rough thrust under there. “I wish you could see yourself right now. The prettiest. My little cumdump.”
And Theo loses his sanity when Gungawin says that; it works like a book of spells. He keeps chanting Gungawin's name while moaning. His head spins, and he feels dizzy as Gungawin doesn't give him a break, even for just a second. On second thought, maybe he forgot his own name that time.
“D-daddy, please. Please. I want to come.” Theo arches his back while trying to gaze at Gungawin, yet his vision turns blurry because of the tears of pleasure.
Theo squeals; his voice shakes as Gungawin grabs his cock and starts to stroke the younger's cock while he keeps moving his hips, and Theo's cock throbs for each thrust.
“Cum for me, little doll. Show me how much you love your daddy.”
After a few thrusts of Gungawin's cock hitting his prostate and strokes on his cock, Theo lets his mouth wide open while his eyes roll back as everything seems to be turning white. He spurts his cum around Gungawin's hands and their stomachs. He's unable to let more loud moans out past his lips.
Theo almost passes out if he doesn't realize that Gungawin hasn't reached his high yet. So he tries to move his hips against Gungawin, making the older one raise his eyebrows before landing a little slap on Theo's inner thigh.
“I might come soon, and I can pull my thing out if you want to.” Gungawin lowers his body without stopping to move his hips, although his movement becomes shaky.
Theo immediately shakes his head frustratingly, feeling how Gungawin's cock is somehow getting bigger and throbbing inside him, which could possibly make him come for the second time because Gungawin doesn't give him a minute's break after he reaches his high.
“No, no—cookie. Please come inside me, Daddy. I beg you.”
And it was a cue for Gungawin to pull Theo's waist even closer to ruin him more from inside, making the younger scream as he comes for the second time, almost at the same time as Gungawin shoots his cum inside Theo.
Theo was embarrassed yet aroused by two facts: that he came for the second time because he was too sensitive, and that Gungawin filled his hole with a brim of cum. He decides to close his eyes and catch his breath, recollecting his sanity as he almost forgot his own name after being busy screaming Gungawin's name.
“Good boy, my pretty little cumdump. You were so amazing. You were taking my cock so well inside.”
Gungawin tersenyum kecil ketika mendengar rengekan malu Theo. Perlahan, Ia keluarkan kejantanannya dari dalam bagian tubuh Theo, sebelum mendaratkan kecupan di kedua lutut Theo yang memerah akibat ditekuk terlalu lama dan meluruskan sepasang kakinya. Gungawin menunduk, mendaratkan lebih banyak kecupan di atas perut Theo dan bagian dadanya yang penuh dengan jejak kemerahan akibat ulah mulutnya.
“Daddy,” Theo menyentuh lengan Gungawin ketika lelaki itu turut berbaring di sampingnya, di atas sofa. “Thank you for the treats. It was amazing. Aku suka.”
Tawa pelan secara konstan menyapa telinga Theo. Gungawin menarik yang lebih muda ke dalam pelukan. Tidak peduli dengan betapa lengketnya tubuh mereka dengan keringat. “You were such a tease, really. Jadi, sekarang kamu mau apa?”
Theo turut tertawa dan memberikan pukulan pelan di atas lengan Gungawin. “Pengen ke Singapura, tapi kalau daddy lagi nggak sibuk.” Ucapnya dengan cepat, sebelum disambut oleh dehaman singkat dari yang lebih tua.
“Bulan depan kayaknya saya ada rencana ke sana, sekitar satu minggu. Kamu mau ikut? Acaranya nggak formal, jadi kamu tenang saja.” Kata Gungawin, yang tentu saja disambut dengan anggukan cepat oleh Theo yang mengeratkan pelukan mereka.
“Yes! Daddy, you're the best!“
Kepalanya penuh dengan skenario tentang apa yang akan mereka lakukan selama di Singapura. Diam-diam, Theo memikirkan dan menyusun rencana supaya Gungawin akan lupa dengan acara yang akan di hadirinya di sana. Theo tersenyum sendiri sembari menutup sepasang matanya, tidak menyadari jika Gungawin memerhatikannya sejak tadi. Kemudian, lelaki yang lebih tua darinya itu berbisik tepat di telinga Theo.
“Kalau kamu berencana buat lebih banyak godain saya selama di Singapura, I would definitely make you beg on your knees without mercy.”
“Please do, daddy. I'd love to.“
@greatesturn, 2023.